Cara Berpikir yang Baik dan Buruk dalam Pengambilan Keputusan: Meningkatnya Misinformasi dan Bias

Sep 01, 2025 3 Min Read
Perempuan main catur
Sumber:

Tima Miroshnichenko. Pexels

Keputusan yang kita buat membentuk hidup kita, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga memengaruhi arah sejarah. Di balik kemampuan manusia untuk mengambil keputusan, ada satu kekuatan utama: kemampuan bernalar. Inilah yang membedakan kita dari makhluk lain.

Berbeda dengan harimau yang bertindak berdasarkan naluri, manusia mampu berpikir jauh ke depan. Kita bisa menerima hal yang tampak menyakitkan di awal seperti suntikan vaksin karena kita tahu manfaatnya di masa depan. Namun bukan berarti kita kebal dari kesalahan. Kita tetap bisa tertipu dan membuat kesalahan kecil yang berdampak besar.

Karena itu penting bagi kita untuk memahami cara bernalar yang baik dan mengenali cara berpikir yang keliru, baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Dengan begitu kita dapat mengambil keputusan yang lebih tepat atau setidaknya menghindari keputusan yang salah. Banyak argumen dari penjual, politisi, hingga iklan dipenuhi logical fallacies (kesalahan logika) yang mampu memengaruhi cara kita berpikir. Jika kita tidak waspada, kita bisa saja dimanipulasi untuk mengikuti kepentingan orang lain.

Ada ratusan logical fallacies yang umum terjadi, tetapi kali ini kita akan fokus pada beberapa yang paling sering muncul di era misinformasi sekarang.

Baca Juga: 8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk

Masalah “Ahli yang Bukan Ahli”

Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah munculnya fenomena non-expert expert, orang yang sebenarnya ahli di satu bidang tetapi menggunakan reputasinya untuk berbicara tentang hal di luar keahliannya. Misalnya, seorang pengusaha teknologi sukses memberikan nasihat soal gizi atau seorang aktor terkenal berbicara tentang kebijakan kesehatan masyarakat.

Fenomena ini berbahaya karena memanfaatkan white coat effect atau daya tarik pada otoritas. Kita cenderung percaya pada orang yang punya jabatan atau dianggap ahli. Saat seorang non-expert berbicara, reputasi mereka menjadi semacam “halo” yang membuat pendapatnya terlihat meyakinkan padahal tidak selalu benar. Akibatnya, informasi yang salah bisa menyebar luas hanya karena siapa yang mengatakannya, bukan apa yang dikatakannya.

Logical Fallacies dalam Misinformasi

Misinformasi sering berkembang karena memanfaatkan logical fallacies (kesalahan logika). Ini bukan sekadar teori akademis. Kesalahan logika seperti ini menjadi dasar argumen yang tampak meyakinkan tetapi sesat, dan mudah memengaruhi opini publik.

Appeal to Nature Fallacy (daya tarik pada yang alami)

Kesalahan logika ini muncul ketika sesuatu dianggap baik, benar, atau sehat hanya karena “alami” atau “tidak diproses”. Contohnya, sebuah artikel mengklaim suatu diet lebih baik karena berdasarkan “makanan nenek moyang” atau ramuan herbal lebih manjur daripada obat medis karena “langsung dari alam”.

Padahal, nenek moyang kita makan semua yang alami tetapi rata-rata hidup hanya sampai 30 tahun dan meninggal karena penyakit yang sekarang bisa dicegah.

Logika seperti ini keliru karena menganggap “alami” selalu berarti aman atau efektif. Banyak tumbuhan beracun yang juga alami dan banyak obat penyelamat nyawa yang dibuat secara sintetis dan sebaliknya. Dengan mengidealkan yang alami, kita bisa membuat keputusan yang tidak didukung bukti ilmiah.

Baca Juga: Labubu, Stanley, dan Matcha Hype: Pelajaran tentang Perilaku Konsumen

Part-to-Whole Fallacy (kesalahan dari bagian ke keseluruhan)

Disebut juga fallacy of composition, kesalahan ini terjadi ketika kita berasumsi bahwa jika satu bagian memiliki sifat tertentu maka keseluruhan juga sama.

Dalam konteks misinformasi, ini sering muncul sebagai klaim bahwa suatu produk sepenuhnya aman hanya karena salah satu bahannya terkenal tidak berbahaya. Padahal kombinasi bahan-bahan lain atau interaksinya dalam tubuh bisa menimbulkan efek yang berbeda. Kesalahan logika ini menyederhanakan kenyataan yang kompleks dan dapat menimbulkan rasa aman yang palsu.

Menavigasi Informasi dengan Lebih Kritis

Untuk melawan arus misinformasi, kita perlu menjadi konsumen informasi yang lebih kritis. Jangan hanya melihat siapa yang berbicara tetapi periksa juga bukti yang mereka sampaikan. Dengan mengenali logical fallacies (kesalahan logika) dan bias kita bisa melindungi diri dari narasi yang manipulatif dan menyesatkan.

Komunikasi adalah jalan dua arah. Kita perlu sadar akan kesalahan logika, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri. Komunikator yang baik mampu membangun argumen yang kokoh dan tahan uji. Sebaliknya, dengan mengenali kelemahan dalam argumen orang lain kita dapat merespons lebih efektif dan berdiskusi dengan cara yang lebih sehat.

Tujuan akhirnya bukan untuk mempermalukan orang lain tetapi untuk bersama-sama memahami kenyataan dengan lebih jelas agar kita semua dapat membuat keputusan yang lebih baik.

Share artikel ini

Alt

Ethan adalah Head of Production di Leaderonomics. Ia berasal dari Selandia Baru dan kini menikmati hidup serta kuliner di Malaysia. Ia tertarik pada cara orang berpikir, berinteraksi, dan menemukan makna melalui psikologi, filsafat, dan kisah manusia. Karyanya menggabungkan wawasan dan rasa ingin tahu, menjadikan ide yang kompleks lebih mudah dipahami dan relevan untuk keseharian.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Wanita Muda Sedang Melakukan Meditasi

Menemukan Kembali Diri Anda Setelah Kemunduran

Artikel ini Ditulis Oleh : Claire Harbour & Antoine Tiraid. Menemukan Kembali Diri Anda Setelah Kemunduran

Jul 17, 2023 5 Min Read

Wawancara Kepemimpinan: Pemimpin dan Waktu

Pemimpin dan Waktu

Douglas Robitaille berbagi wawasan tentang bagaimana pemimpin mengelola waktu dengan bijak untuk mencapai tujuan besar dan membangun tim yang produktif.

Feb 12, 2025 57 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest