Labubu, Stanley, dan Matcha Hype: Pelajaran tentang Perilaku Konsumen

Dushawn Jovic. Unsplash
Sekilas, beberapa tren produk ini memang terlihat membingungkan.
Orang rela membeli mystery dolls yang bahkan tidak bisa mereka pilih sendiri, mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan botol minum pastel, atau membayar personal shopper di Jepang demi mendapatkan matcha tertentu.
Pertanyaannya, apa yang mendorong semua ini?
Kita tahu Labubu bukan satu-satunya blind box yang ada. Stanley juga bukan satu-satunya botol minum. Dan matcha—mengapa justru dia yang viral, sementara teh lain seperti Oolong atau Earl Grey tidak banyak diperhatikan?
Kenyataannya, jika diperhatikan lebih dekat, ada formula psikologi yang dirancang dengan cermat untuk mengubah kita menjadi konsumen yang loyal. Mari kita lihat strategi yang mendorong jutaan orang mengejar produk-produk ini.
Baca Juga: Kisah Otak yang Lelah: Brain Rot dalam Perspektif Neuropsikologi
Membeli sebagai Bentuk Ekspresi Diri
Di era media sosial, algoritma mempermudah kita menemukan komunitas yang sesuai dengan minat. Bukan hanya dalam arti tradisional, tetapi juga melalui feed yang dipersonalisasi.
Matcha adalah contoh paling jelas. Meski sudah lama populer, media sosial memberinya napas baru. Kini matcha identik dengan that girl aesthetics dan ritual self-care. Di TikTok, matcha menjadi bagian dari tren gaya hidup yang estetik: bangun pagi, olahraga pilates, riasan minimalis, pola makan sehat, dan tentu saja, membuat matcha sendiri dengan whisk bambu.
Membeli matcha berarti ikut membeli gaya hidup tersebut. Apalagi yang dipilih adalah ceremonial grade matcha, kualitas tertinggi yang biasa digunakan dalam upacara teh Jepang. Warna hijaunya cerah dan fotogenik, serta sesuai dengan narasi kesehatan karena bebas gula maupun campuran tambahan. Bagi konsumen yang semakin sadar kesehatan, hal ini menjadi pembeda penting.
Ritual membuat matcha juga memberi pengalaman tersendiri. Mengaduknya dengan whisk bambu terasa lambat, penuh kesadaran, bahkan mewah. Ada yang menikmatinya sebagai cara terhubung dengan tradisi, ada pula yang sekadar ingin memulai hari dengan lebih tenang.
Hype ini pun merambah ke seluruh dunia. Produsen di Jepang melaporkan permintaan yang melonjak hingga mengganggu pasokan. Menurut The Japan Times, merek besar seperti Ippodo dan Marukyu Koyamaen bahkan mulai membatasi penjualan untuk menjaga ketersediaan di pasar lokal. Matcha pun akhirnya bukan sekadar minuman, melainkan simbol keterhubungan dengan komunitas global yang memiliki gaya hidup serupa.
Kelangkaan dan Urgensi
Fenomena kelangkaan juga menjadi pemicu besar. Masih ingat ketika orang rela berkemah di depan Target demi Stanley tumbler edisi terbatas? Atau ketika Labubu langsung habis terjual setelah Lisa BLACKPINK mengunggah koleksinya, yang membuat permintaan meningkat di seluruh Asia?
Kesediaan konsumen untuk mengantre lama atau membayar lebih demi sesuatu yang eksklusif adalah bagian dari psikologi perilaku. Kelangkaan menciptakan rasa urgensi. Ini adalah taktik klasik bisnis yang mendorong orang bertindak cepat, sering kali tanpa banyak pertimbangan.
Strategi ini hadir dalam berbagai bentuk: limited drops, produk eksklusif, countdown timer, pesan “selama persediaan masih ada”, hingga flash sale.
Secara biologis, otak kita juga ikut berperan. Antisipasi menjelang sebuah drop memicu pelepasan dopamin. Stres karena persaingan dengan ribuan pembeli lain meningkatkan kadar kortisol. Dan ketika akhirnya berhasil mendapatkannya, rasa lega dan puas pun muncul. Inilah pengalaman emosional yang sengaja diciptakan oleh brand.
Dari kolaborasi selebritas hingga konten haul yang viral, semuanya dirancang untuk memperkuat emosi tersebut. Bahkan brand mewah seperti Hermès pun mengandalkan strategi serupa, terlihat dari betapa sulitnya mendapatkan sebuah Birkin.
Social Proof dan Efek Menular
Selain faktor kelangkaan, hype juga diperkuat oleh social proof. Video viral, endorsement influencer, dan percakapan online menciptakan rasa antusiasme kolektif yang menyebar cepat. Ketika banyak orang terlihat menyukai sesuatu, kita secara alami menjadi penasaran. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memang dibangun untuk memperkuat fenomena ini. Awalnya Anda mungkin hanya melihat satu video orang membuat matcha. Lalu muncul lagi, dan lagi. Hingga akhirnya feed penuh dengan whisk matcha, koleksi Stanley, dan unboxing Labubu.
Format kontennya pun serupa. Video seperti “Making my morning matcha”, “Restocking my Stanley”, atau “Labubu shelf tour” tidak secara langsung menyuruh orang membeli. Namun dengan tampil sebagai kebiasaan sehari-hari, konten ini menurunkan hambatan untuk ikut serta. Semakin sering terlihat, semakin wajar rasanya menjadi bagian dari tren tersebut.
Proses pembelian pun dibuat sederhana. Link afiliasi, fitur yellow cart (keranjang kuning), dan kode promo mempersingkat jarak antara keinginan dan tindakan. Begitu barang tiba, pembeli baru pun siap menjadi bagian dari rantai berikutnya yang menyebarkan tren.
Konsumen Mencari Pengalaman
Ketiga faktor ini berpadu menjadikan produk bukan sekadar barang, melainkan pengalaman bersama. Penggemar Labubu berburu produk dalam komunitas, berbagi konten haul, dan merasakan ketegangan menunggu karakter yang didapat. Kolektor Stanley menghias tumbler mereka, membawanya untuk berjalan santai, bahkan menggunakannya untuk menyiapkan camilan. Pecinta matcha membagikan ritual pagi dan merekomendasikan kafe dengan cita rasa umami terbaik.
Produk akhirnya menjadi pemicu konten, percakapan, dan koneksi. Sebagian tumbuh secara organik, sebagian lainnya memang dirancang oleh brand. Namun pada akhirnya, produk berhasil menjadi bagian dari gaya hidup yang ingin orang bicarakan. Inilah pengingat penting bahwa nilai produk tidak hanya terletak pada fitur. Ekosistem di sekitarnya memiliki peran yang sama besar. Memang, tidak semua tren bertahan selamanya. Tetapi ketika sebuah produk mampu menyentuh faktor-faktor ini, ia akan menciptakan momentum yang menjadi impian setiap bisnis.
Bisnis
References:
https://www.japantimes.co.jp/life/2025/02/23/food-drink/matcha-shortage-global-solutions/
Anggie adalah editor bahasa Inggris di Leaderonomics. Sehari-harinya ia banyak berkutat dengan pembuatan konten, ditemani setia oleh secangkir teh hijau hangat atau iced latte.