Segitiga Drama: Cara Pemimpin Berhenti Berperan sebagai Korban, Pelaku, atau Penolong di Tempat Kerja

Nov 08, 2025 6 Min Read
Seorang perempuan menutup telinganya
Sumber:

Yan Krukau, Pexels

“Drama tax” dalam kepemimpinan

Bayangkan situasi ini…

Pagi Selasa yang hujan. Tim kepemimpinan Anda berkumpul untuk sesi strategi yang seharusnya sederhana. Namun, belum sampai dua puluh menit, suasana berubah.
Satu anggota tim mulai mengeluh karena merasa diabaikan (“Tidak ada yang mau mendengarkan saya”). Anggota lain menyalahkan keterlambatan rekan kerja (“Kalau saja kamu menyelesaikan tepat waktu, kita tidak akan berada dalam situasi ini”). Sementara yang ketiga mencoba menenangkan keadaan (“Jangan terlalu keras. Biar saya yang selesaikan”).

Kedengarannya familiar?
Yang sedang terjadi bukanlah rapat strategi, melainkan sebuah panggung drama.

Tanpa disadari, para anggota tim sedang memainkan pola psikologis klasik: segitiga drama (drama triangle).
Alih-alih membahas isu strategis, energi mereka terserap dalam siklus saling menyalahkan, defensif, dan keinginan menolong yang salah arah.

Mungkin contoh ini terdengar berlebihan, tetapi sebagian besar dari kita pernah mengalami dinamika seperti ini di tempat kerja.
Begitu terjebak dalam segitiga drama, fokus mulai hilang, kepercayaan menurun, dan pengambilan keputusan jadi melambat.

Bagi pemimpin, jebakan ini lebih berisiko karena tekanan organisasi dapat menarik mereka ke dalam pola yang tidak produktif.
Memahami dan keluar dari segitiga drama bukan hanya penting untuk kesejahteraan pribadi, tapi juga berdampak besar pada performa tim dan organisasi.

Apa Itu Segitiga Drama?

Konsep drama triangle pertama kali diperkenalkan oleh psikiater Stephen Karpman pada tahun 1968 sebagai model sosial untuk menjelaskan interaksi disfungsional.
Ia menggambarkan tiga peran utama yang biasa muncul dalam konflik, tekanan, atau hubungan yang tidak sehat:

  • Korban (Victim) – merasa tidak berdaya, tertindas, atau diperlakukan tidak adil. Polanya adalah “kasihan saya”, dan cenderung mencari penolong atau menyalahkan pihak lain daripada bertanggung jawab terhadap perubahan.
  • Pelaku (Villain/Persecutor) – gemar mengkritik, menyalahkan, atau mengontrol orang lain. Meski tampak berwibawa, sebenarnya sering digerakkan oleh rasa frustrasi atau ketidakamanan.
  • Penolong (Rescuer) – suka turun tangan “menyelamatkan” orang lain, bahkan tanpa diminta. Walau tampak peduli, sebenarnya memperkuat ketergantungan dan menghindari masalahnya sendiri.

Ketiga peran ini saling memperkuat siklus drama.
Korban menarik penolong, pelaku menumbuhkan sikap defensif, dan penolong menjaga korban tetap bergantung sambil melindungi pelaku dari tanggung jawab.

Namun, peran ini sangat cair. Seorang penolong bisa berubah menjadi korban saat merasa tidak dihargai, atau korban bisa berubah menjadi pelaku ketika mulai melawan.

Mengapa Kita Terjebak dalam Segitiga Ini?

Tarikan segitiga drama begitu kuat karena menyentuh kebutuhan psikologis dan sosial dasar manusia.

Pertama, manusia berevolusi untuk bertahan hidup lewat dinamika kelompok.
Peran dominasi (pelaku), kepasrahan (korban), dan afiliasi (penolong) merefleksikan strategi bertahan hidup kuno. Di dunia kerja modern, pola ini muncul kembali ketika seseorang merasa terancam, tertekan, atau terlibat politik kantor.

Baca Juga: Burnout: Ketika Stres Menjadi Teman Sehari-hari dan Bagaimana Cara Mengatasinya

Kedua, segitiga drama membantu kita melindungi citra diri.
Riset tentang self-serving bias menunjukkan bahwa manusia cenderung menafsirkan peristiwa dengan cara yang menjaga harga diri. Psikolog klinis Amy Mezulis dan timnya menemukan bahwa bias ini bersifat umum sekaligus adaptif, karena membuat seseorang merasa lebih baik dengan mengaitkan kesuksesan pada diri sendiri dan kegagalan pada faktor luar.

Bermain sebagai korban membuat kita terhindar dari tanggung jawab, menjadi penolong memberi rasa berharga, dan berperan sebagai pelaku menciptakan ilusi kontrol.
Setiap peran memperkuat mekanisme ego yang membuat kita merasa aman.

Terakhir, lingkungan kerja yang lebih menghargai “pemadam kebakaran” daripada pencegahan, atau mencari kambing hitam daripada tanggung jawab, cenderung memperkuat pola ini.

Dampak Negatif dari Drama

Dinamika hubungan seperti ini membawa kerugian besar, baik secara emosional maupun operasional.
Energi yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah malah terserap ke dalam drama, menyebabkan pengambilan keputusan tertunda dan hasil kerja melambat.

Dalam jangka panjang, kepercayaan antaranggota tim terkikis.
Rekan kerja mulai melihat satu sama lain bukan sebagai kolaborator, melainkan sebagai lawan atau penyebab masalah. Akibatnya, kerja sama dan kohesi tim menurun drastis.

Beban emosional pun meningkat: penolong menjadi lelah karena terus menanggung beban, korban makin merasa tak berdaya, dan pelaku terus frustrasi.
Penelitian dari Kellogg School of Management menegaskan bahwa ketika kepercayaan di tempat kerja terganggu, orang akan menarik diri dan kolaborasi cepat memburuk.
Hal ini pada akhirnya menurunkan performa individu maupun tim.

Jika dibiarkan, pola ini menyebabkan disengagement dan kehilangan talenta, karena individu berprestasi tinggi akan mencari lingkungan kerja yang lebih sehat dan akuntabel.
Singkatnya, selama pemimpin dan tim terus terjebak dalam segitiga drama, kemajuan akan terhambat dan budaya kerja memburuk.

Keluar dari Segitiga Drama

Antidot dari segitiga drama adalah kesadaran diri dan perubahan perilaku yang disengaja.
Salah satu pendekatan paling dikenal adalah Empowerment Triangle yang dikembangkan oleh David Emerald pada tahun 2007.

Kerangka ini mengubah tiga peran disfungsional menjadi versi yang lebih konstruktif:

  • Korban menjadi pencipta (creator) yang bertanggung jawab dan berfokus pada pilihan.
  • Pelaku berubah menjadi penantang (challenger) yang menumbuhkan pertumbuhan melalui umpan balik konstruktif.
  • Penolong bertransformasi menjadi pelatih (coach) yang mendukung tanpa menciptakan ketergantungan.

Dengan berpindah dari drama menuju pemberdayaan, pemimpin dan tim dapat mengganti siklus saling menyalahkan menjadi siklus akuntabilitas, pembelajaran, dan pertumbuhan.
Tantangannya adalah bagaimana menerapkan model ini dalam keseharian.

1. Sadari Peranmu Saat Ini

Langkah pertama adalah kesadaran diri.
Saat menghadapi situasi penuh tekanan, tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah saya sedang bertanggung jawab, atau justru terjebak sebagai korban?
  • Apakah saya mengkritik untuk memperbaiki, atau untuk mengontrol?
  • Apakah saya menolong karena dibutuhkan, atau karena ingin menghindari ketidaknyamanan pribadi?

Baca Juga: Kesadaran Diri: Kunci Pertumbuhan Pribadi dan Profesional

2. Bangun Rasa Aman Psikologis

Penelitian Prof. Amy Edmondson menunjukkan bahwa tim dengan tingkat psychological safety tinggi lebih terbuka untuk mengakui kesalahan dan saling menantang secara sehat.
Dengan menciptakan rasa aman melalui kerentanan, mengakui kesalahan, dan membuka ruang bagi perbedaan pendapat, Anda mengurangi kebutuhan setiap orang untuk berperan sebagai pelaku, korban, atau penolong yang berlebihan.

3. Ubah Bahasa dan Cara Membingkai

Penelitian tentang linguistic framing menunjukkan bahwa perubahan kecil dalam pilihan kata dapat memengaruhi persepsi dan perilaku.

Bahasa yang Anda gunakan dapat memperkuat peran yang Anda (dan orang-orang di sekitar Anda) mainkan.

Sebagai contoh, korban cenderung menggunakan kata-kata absolut (“Saya tidak bisa”), pelaku menggunakan bahasa menyalahkan (“Kamu tidak pernah”), dan penolong menggunakan bahasa kewajiban (“Saya harus”).

Anda dapat membantu mengubah cara pandang dan pilihan perilaku dengan mendorong penggunaan bahasa pilihan (“Apa saja opsi yang kita miliki?”) dan mengajukan pertanyaan yang berfokus pada solusi (“Langkah apa yang bisa kita ambil ke depan?”). Anda juga dapat menormalkan tanggung jawab bersama (“Bagian mana dari hal ini yang menjadi tanggung jawab kita masing-masing?”).

4. Perkuat Regulasi Emosi

Segitiga drama tumbuh subur dalam reaktivitas.

Anda dapat menyeimbangkan dan mengurangi reaktivitas dengan melatih mindfulness. Praktik mindfulness membantu meningkatkan regulasi emosi dan pada akhirnya dapat meminimalkan eskalasi konflik.

Latihan sederhana seperti berhenti sejenak sebelum merespons, mengenali pemicu emosi, dan bernapas dalam-dalam dapat menciptakan ruang untuk membuat pilihan yang lebih bijaksana dan disengaja.

5. Rancang Ulang Sistem untuk Mengurangi Drama

Kesadaran individu harus diperkuat dengan faktor-faktor struktural.

Hak pengambilan keputusan yang jelas membantu mengurangi kebiasaan saling menyalahkan, sementara metrik kinerja yang transparan membatasi kecenderungan untuk mencari kambing hitam.

Sama pentingnya adalah membangun budaya coaching, di mana dukungan yang diberikan bersifat pengembangan, bukan penyelamatan.

Ketika sistem dirancang dengan baik, hal itu akan meminimalkan ambiguitas dan mencegah konflik berkembang semakin besar.
Anda yang menentukan nada dan arah dalam cara tim Anda berinteraksi.

6. Jadilah Teladan dan Beri Penghargaan untuk Alternatif yang Memberdayakan

Dengan mencontohkan perilaku konstruktif dan menghargai mereka yang bertanggung jawab, menantang dengan rasa hormat, atau membimbing rekan kerja, Anda memperkuat dinamika yang lebih sehat dan menunjukkan nilai-nilai yang dihargai.

Penting untuk diingat, pengakuan yang tulus tidak hanya memotivasi anggota tim, tetapi juga membangun norma tim yang mengurangi kemungkinan munculnya kembali drama.

Untuk menerapkannya dalam praktik, Anda dapat mengandalkan riset dan pengalaman untuk membimbing tindakan sehari-hari. Berikut daftar sederhana yang menawarkan cara praktis untuk tetap berada di luar segitiga drama dan menumbuhkan pemberdayaan:

  • Berhenti sejenak dan sadari – Ketika ketegangan meningkat, kenali peran yang mungkin sedang Anda mainkan. Kesadaran dapat memutus pola.
  • Bertanya, bukan berasumsi – Gantikan kebiasaan menolong berlebihan dengan pertanyaan: “Dukungan seperti apa yang paling berguna untukmu?”

Baca Juga: Komunikasi di Tempat Kerja: Stop Bertanya “Apakah Anda Paham?”

  • Tantang dengan rasa ingin tahu – Alih-alih mengkritik, katakan: “Bantu saya memahami alasanmu.”
  • Dorong tanggung jawab – Ajak korban untuk mengidentifikasi satu langkah konkret yang bisa mereka ambil.
  • Batasi bantuan Anda – Berikan dukungan tanpa mengambil alih. Jika Anda cenderung “menyelamatkan”, mundurlah sejenak dan biarkan orang lain memikul tanggung jawabnya.
  • Ubah konflik menjadi data – Perlakukan perbedaan pendapat sebagai sinyal tentang proses atau sudut pandang, bukan sebagai serangan pribadi.
  • Bangun norma tim – Tetapkan harapan yang jelas tentang tantangan konstruktif dan tanggung jawab bersama.

Dari Drama Menuju Pengembangan

Ketika Anda memahami dan mampu menghentikan segitiga drama, Anda membebaskan diri dan tim dari siklus yang tidak produktif.

Alih-alih memiliki korban, pelaku, dan penolong, Anda menumbuhkan pencipta, penantang, dan pelatih. Inilah peran-peran yang membangun kepercayaan, mempercepat kemajuan, dan memperkuat ketahanan tim.

Seiring dunia kerja menjadi semakin kompleks, godaan untuk kembali ke pola lama akan selalu ada. Namun, dengan kesadaran, latihan yang disengaja, dan dukungan sistem yang tepat, Anda dapat mengubah drama yang tidak sehat menjadi pertumbuhan, pengembangan, dan kemajuan.

Share artikel ini

Alt
Selain ahli di bidang kepemimpinan dan perubahan, Michelle Gibbings juga merupakan seorang founder perusahaan konsultan bisnis bernama Change Meridian. Pada tahun 2016, Gibbings menerbitkan bukunya berjudul ‘Step Up: How to Build Your Influence at Work’.
Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Gambar 2 Orang Pria Karyawan Sedang Berdiskusi Bersama

Mengapa Menantang Status Quo Bisa Menjadi Kemenangan Branding Pribadi

Artikel ini Ditulis Oleh : WIlliam Arruda. Mengapa Menantang Status Quo Bisa Menjadi Kemenangan Branding Pribadi

Sep 21, 2023 4 Min Read

Alt

Bagaimana Satu Pesawat Membuat Semua Perbedaan

Mengenal Yayasan Aviasi Nusantara, yayasan yang masih cukup muda dari segi waktu tapi kontribusi mulia untuk masyarakat khususnya masyarakat tertinggal sangat nyata.

Feb 01, 2021 4 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest