Strategi Mengatasi Sumbatan Komunikasi di Tempat Kerja

Mikhail Nilov, Pexels
Dalam setiap organisasi, komunikasi menjadi pondasi utama untuk menjaga kelancaran kerja dan menciptakan lingkungan yang sehat. Namun, tak jarang sumbatan komunikasi terjadi, menciptakan ketidakpastian dan kekhawatiran di antara karyawan.
Organisasi merupakan wadah di mana sekelompok individu dengan tujuan bersama berkumpul. Komunikasi seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan antar anggota, namun terkadang, justru menjadi sumbatan yang menghambat aliran informasi. Dalam kasus karyawan yang takut diperlakukan tidak adil, sumbatan komunikasi muncul akibat kurangnya saluran yang efektif untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.
Pada akhirnya bisa memunculkan praktik gosip dan politik kantor yang dapat menciptakan lingkungan di mana informasi yang beredar tidak dapat dipercaya. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam hubungan kerja. Dalam banyak kasus, karyawan merasa takut atau tidak nyaman untuk menghadapi manajemen secara langsung. Mereka mungkin menghindari dialog terbuka karena khawatir akan dampak negatifnya terhadap karier mereka. Ketakutan ini pada akhirnya menciptakan celah komunikasi yang kemudian diisi dengan tindakan-tindakan yang diluar nalar.
Baca Juga: Komunikasi di Tempat Kerja: Stop Bertanya “Apakah Anda Paham?”
Untuk memahami lebih dalam dan mengatasi sumbatan komunikasi ini, mari kita telaah lebih dalam.
Ketakutan Akan Perlakuan Tidak Adil
Sumbatan komunikasi dalam organisasi sering kali bermula dari ketidakjelasan dan ketidakpastian. Dalam kasus ini, karyawan merasa takut untuk diperlakukan tidak adil oleh manajemen, mungkin karena interpretasi yang berbeda terhadap kebijakan atau peraturan organisasi. Rasa tidak aman ini kemudian mendorong karyawan untuk mengambil tindakan ekstrem seperti mengirimkan “surat kaleng” sebagai bentuk protes.
Harold Dwight Lasswell, salah satu ahli komunikasi menekankan pentingnya "siapa mengatakan apa kepada siapa dengan dampak apa." Dalam konteks ini, ketidakpastian dan kurangnya transparansi dalam komunikasi organisasi menjadi pemicu utama sumbatan.
Mengapa Ini Terjadi?
Mungkin kita semua pernah mendengar tentang istilah “surat kaleng”, yaitu istilah yang sering digunakan untuk menyebut surat yang ditulis atau disusun dengan cara yang bersifat klise, tanpa nilai-nilai personal atau inovatif yang signifikan. Dalam konteks ini, "kaleng" mengacu pada sesuatu yang terasa monoton, tanpa kehidupan, dan kurangnya keaslian.
Surat kaleng menjadi senjata pilihan karyawan yang merasa tidak memiliki platform untuk menyuarakan kekhawatiran mereka secara terbuka. Walaupun sebenarnya hal ini bukanlah cara yang efektif atau etis untuk menyampaikan protes. Namun, hal ini bisa terjadi ketika karyawan merasa tidak punya pilihan lain.
Mereka merasa bahwa melalui protes ini, pesan mereka dapat sampai tanpa risiko terhadap karir atau perlakuan tidak adil. Mereka mungkin menganggap ini sebagai bentuk perlindungan diri, walaupun sebenarnya ini hanyalah penyumbat yang lebih sering merugikan daripada memberikan solusi. Selain itu, tindakan ini juga merusak kepercayaan dan memperparah sumbatan komunikasi yang sudah ada.
Konsep utama di balik surat kaleng ini sebenarnya adalah kebutuhan akan saluran yang aman untuk menyuarakan ketidakpuasan. Oleh karena itu, organisasi perlu menciptakan atmosfer di mana karyawan merasa nyaman untuk berbicara tanpa takut akan konsekuensi negatif. Mengidentifikasi dan memecahkan akar permasalahan ini merupakan langkah awal untuk mengatasi sumbatan komunikasi.
Teori komunikasi menurut Paul Watzlawick mengemukakan bahwa "tidak mungkin untuk tidak berkomunikasi." Dalam konteks organisasi, ketidakpuasan karyawan tetap berkomunikasi, meskipun kadang melalui kanal yang tidak tepat, seperti surat kaleng. Memahami bahwa komunikasi selalu ada, namun harus dibangun dengan baik, adalah langkah pertama untuk mengatasi sumbatan.
Transparansi dan Keterbukaan
Membangun budaya organisasi yang terbuka adalah kunci kesuksesan dalam mengatasi sumbatan komunikasi. Budaya ini menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa nyaman untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan konsekuensi negatif. Komunikasi yang terbuka tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga mendorong kolaborasi dan inovasi.
Menurut ahli manajemen, Edgar Schein, budaya organisasi mencakup tiga level: artefak, nilai, dan asumsi dasar. Membuat perubahan yang berkelanjutan memerlukan pemahaman mendalam tentang ketiga level ini. Manajemen perlu bekerja sama dengan karyawan untuk merubah nilai-nilai dan asumsi dasar yang mungkin menjadi penyebab sumbatan komunikasi.
Manajemen perlu menjadikan transparansi sebagai prioritas utama. Dengan memberikan pemahaman yang jelas tentang kebijakan dan memberikan informasi yang dibutuhkan, ketidakpastian dapat diminimalisir. Town hall meetings, newsletter, atau platform komunikasi internal dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan keterbukaan.
Manajemen perlu memahami apa yang membuat karyawan merasa takut atau tidak nyaman untuk berbicara secara terbuka. Apakah ini terkait dengan kebijakan manajemen, gaya kepemimpinan, atau keadilan organisasional?
Setelah identifikasi dilakukan, langkah selanjutnya adalah menciptakan saluran komunikasi yang efektif dan aman. Ini bisa melibatkan pendekatan seperti pertemuan reguler dengan karyawan, survei anonim untuk mengumpulkan umpan balik, atau pembentukan kelompok diskusi terbuka. Tujuannya adalah menciptakan suasana di mana karyawan merasa bahwa suara mereka didengar dan memiliki dampak positif.
Forum atau wadah seperti serikat pekerja bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyampaikan pendapat mereka secara terbuka, sekaligus dapat membantu dalam mencegah penumpukan ketidakpuasan. Dengan memberikan platform yang aman, karyawan akan merasa didengar dan dihargai.
Baca Juga: Sampaikan Kekhawatiran Anda: Berani Bicara Tanpa Bikin Suasana Tegang
Konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari, namun dapat dikelola. Melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam dialog terbuka dan mencari solusi bersama dapat membantu mengatasi ketidaksetujuan.
Menurut Joseph DeVito, salah satu kemampuan yang penting yaitu mendengarkan sebagai elemen kunci dalam komunikasi yang efektif. Manajemen perlu menjadi pendengar yang baik untuk memahami perasaan dan kekhawatiran karyawan, sehingga solusi yang diusulkan dapat menjadi solusi yang bersifat inklusif.
Membangun Kembali Kepercayaan
Kepercayaan adalah kunci utama dalam mengatasi sumbatan komunikasi. Dengan membangun kepercayaan melalui tindakan kongkret dan transparansi, manajemen dapat meyakinkan karyawan bahwa kebijakan dan tindakan mereka diarahkan untuk kebaikan bersama.
Sebagai individu di dalam organisasi, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana komunikasi dapat berjalan lancar. Mendengarkan dengan empati, berbicara dengan kejujuran, dan bekerja sama untuk mencari solusi, kita dapat mengakhiri era “surat kaleng” dan menggantinya dengan dialog yang membangun.
Melalui langkah-langkah ini, organisasi dapat mengatasi sumbatan komunikasi yang mungkin timbul akibat ketakutan karyawan akan perlakuan tidak adil. Dengan membangun fondasi komunikasi yang kuat, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang menginspirasi, mendukung, dan mempromosikan pertumbuhan bersama.
Komunikasi
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Konsultasi, Pertumbuhan, Sifat Positif
Denni Candra adalah praktisi Risk Management dan Corporate Learning dengan 15 tahun pengalaman, khusus dalam Komunikasi Organisasi, Manajemen Risiko, dan Pengembangan Pembelajaran.