The High School Catfish: Belajar Mengenal Diri Lewat Luka Digital

Ron Lach, Pexels
Luka yang Tidak Terlihat di Dunia Maya
Ketika The High School Catfish dirilis di Netflix, banyak penonton tidak menyangka kisahnya akan sekelam itu. Dokumenter ini mengikuti kisah nyata yang mengguncang (spoiler alert): seorang ibu di Amerika selama bertahun-tahun menyamar menjadi pelaku perundungan daring yang mengirim pesan kejam kepada anaknya dan teman-teman sang anak.
Namun, di balik kisah aneh ini, terdapat pesan penting mengenai kesehatan mental, kesadaran diri, serta kewaspadaan di dunia digital, bahkan terhadap orang yang kita percayai sepenuhnya.
Banyak yang masih menganggap kekerasan digital sebagai masalah kecil. Sekadar pesan anonim, komentar jahat, atau gosip di media sosial. Padahal dampaknya dapat menghancurkan kondisi psikologis seseorang. Dalam film ini, para korban hidup bertahun-tahun dalam ketakutan, cemas setiap kali menerima pesan, dan kehilangan rasa aman bahkan di rumah sendiri.
Di Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda. Menurut UNICEF, hampir setengah remaja Indonesia pernah mengalami bentuk cyberbullying. Namun yang sering diabaikan adalah dampak emosional jangka panjang, seperti kecemasan, overthinking, hingga hilangnya kepercayaan terhadap orang lain.
Dunia Digital dan Krisis Kepercayaan
Salah satu hal paling mengganggu dari The High School Catfish adalah kenyataan bahwa pelaku bukanlah orang asing, melainkan ibu korban sendiri.
Itulah realitas baru dunia digital. Kejahatan atau manipulasi tidak selalu datang dari luar, tetapi bisa muncul dari mereka yang kita yakini tidak akan pernah menyakiti.
Kasus ini menjadi peringatan akan pentingnya digital awareness, kesadaran untuk bersikap lebih kritis, berhati-hati, dan sehat secara emosional saat berinteraksi di dunia online, bahkan ketika komunikasi terjadi di lingkaran yang tampak aman.
Kita hidup di zaman ketika batas antara dunia nyata dan digital semakin kabur. Percakapan pribadi dapat terekam, data bisa disalahgunakan, dan identitas mudah dipalsukan. Karena itu, membangun kesadaran digital bukan berarti menumbuhkan rasa curiga terhadap semua orang, melainkan belajar untuk menjaga diri dengan cerdas dan tetap berempati.
Mengapa Kesadaran Diri Itu Penting
Di balik tindakan ekstrem sang ibu dalam dokumenter ini, tersimpan akar masalah yang lebih dalam: rasa tidak aman dan kebutuhan untuk mengendalikan. Ia menciptakan identitas palsu bukan sekadar untuk menyakiti, tetapi juga untuk mengisi kekosongan emosionalnya sendiri.
Kita mungkin tidak melakukan hal seburuk itu. Namun dalam skala kecil, banyak di antara kita juga mencari validasi di dunia maya melalui likes, komentar, atau pengakuan dari orang lain.
Di sinilah pentingnya self-awareness, yaitu menyadari mengapa kita bereaksi, mengapa kita tergoda untuk tampil sempurna, dan mengapa komentar di internet dapat memengaruhi suasana hati kita.
Baca Juga: Kenapa Self-Awareness Itu Kunci Buat Tetap Bahagia di Era Digital?
Menumbuhkan kesadaran diri berarti mengenali batas antara hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali. Kesadaran ini membantu kita agar tidak mudah terjebak dalam dinamika yang toksik, baik di dunia maya maupun di kehidupan nyata.
Langkah Kecil untuk Menjaga Kesehatan Mental di Dunia Digital

Ron Lach, Pexels
Kesadaran tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh melalui kebiasaan kecil yang dapat kita latih setiap hari. Berikut beberapa langkah sederhana untuk menjaga kesehatan mental dan digital:
1. Perhatikan reaksi emosimu saat online.
Jika sebuah pesan membuatmu marah atau cemas, berilah waktu untuk menenangkan diri sebelum merespons. Dunia digital kerap mempercepat munculnya emosi negatif.
2. Jaga privasi dan batasan.
Tidak semua hal perlu dibagikan atau dipercaya begitu saja, bahkan jika datang dari orang terdekat. Pastikan informasi pribadimu tetap terlindungi..
3. Batasi paparan negatif.
Kurangi interaksi dengan akun atau ruang yang memicu stres, perbandingan, atau perdebatan tanpa makna.
4. Berani bicara.
Jika kamu merasa tidak aman di dunia digital, baik karena pesan anonim maupun perlakuan yang tidak pantas, bicarakan kepada orang yang kamu percayai. Diam bukanlah solusi.
5. Ingat bahwa “offline” juga penting.
Dunia nyata memberikan keseimbangan yang tidak dapat digantikan oleh layar. Luangkan waktu untuk benar-benar hadir, baik bersama diri sendiri maupun bersama orang lain.
Baca Juga: Demensia Digital: Ketika Gadget Merusak Otak Anak Muda
Menjadi Lebih Sadar, Bukan Lebih Curiga
Dokumenter ini menunjukkan bahwa kejahatan digital bisa tampak sangat personal. Namun pesan utamanya bukan agar kita takut pada internet atau orang-orang sekitar, melainkan agar kita lebih sadar dan lebih bijak dalam berinteraksi.
Kesadaran digital berarti memahami bahwa dunia maya tidak selalu mencerminkan kebenaran, dan bahwa kepercayaan perlu dibangun dengan kehati-hatian. Pada saat yang sama, kesadaran ini juga membantu kita melihat sisi manusiawi di balik setiap layar, bahwa di balik setiap pesan terdapat emosi, luka, dan kebutuhan yang mungkin belum terpenuhi.
Penutup
Dunia digital bukanlah musuh. Ia hanyalah cermin yang memperbesar siapa diri kita sebenarnya.
The High School Catfish mengingatkan bahwa bahkan dalam ruang yang paling akrab, kewaspadaan, empati, dan kesadaran diri merupakan kunci agar kita tidak tersesat dalam jaringan kebohongan dan luka yang tidak terlihat.
Belajar mengenal diri lewat luka bukanlah proses yang mudah. Namun dari sanalah lahir kekuatan baru: kemampuan untuk sadar, untuk berhenti, dan untuk memilih kapan harus percaya, kapan harus menjaga jarak, dan kapan harus menyembuhkan diri sendiri.
Kepribadian
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Kepemimpinan Tanpa Batas, Pertumbuhan, Sifat Positif
Manisha adalah editor dan penulis di Leaderonomics. Ia percaya tulisan memiliki kekuatan untuk belajar dan membawa perubahan dengan menginspirasi banyak orang.





