Penalaran yang Baik dan Buruk dalam Pengambilan Keputusan

Leeloo The First, Pexels
Keputusan yang kita ambil membentuk kehidupan kita. Keputusan tersebut tidak hanya menentukan arah pribadi, tetapi juga berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Di balik pengalaman manusia yang unik terdapat kemampuan bernalar, sebuah kapasitas kognitif yang membedakan kita dari makhluk hidup lainnya.
Jika seekor harimau hanya bertindak berdasarkan naluri, manusia memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan. Sebagai contoh, rasa sakit dari suntikan vaksin pada awalnya tampak merugikan, namun dengan pertimbangan yang tepat justru memberikan manfaat yang sangat besar. Walaupun demikian, bukan berarti manusia sepenuhnya berbeda dari hewan lain. Kita tetap rentan tertipu oleh kesalahan kecil dalam penalaran yang dapat menimbulkan dampak serius.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana bernalar dengan baik serta mampu mengenali penalaran yang mengelirukan, baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Dengan begitu, kita dapat mengambil keputusan yang lebih tepat atau setidaknya terhindar dari keputusan yang salah. Banyak argumen dari penjual, politisi, atau pengiklan dipenuhi dengan logical fallacies (kesalahan logika) yang mampu menarik perhatian sekaligus mengubah pendapat kita. Maka, menjadi tanggung jawab kita untuk menyadari kelemahan penalaran tersebut agar tidak terjebak dalam manipulasi, meski tanpa disengaja.
Terdapat ratusan logical fallacies yang umum ditemukan. Namun, artikel ini akan membahas beberapa yang paling sering muncul dalam lanskap misinformasi saat ini.
Baca Juga: 8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk
Fenomena “Ahli Palsu”
Salah satu tantangan terbesar pada masa kini adalah meningkatnya fenomena non-expert expert atau “ahli palsu.” Fenomena ini terjadi ketika seseorang yang sangat dihormati dalam bidang tertentu, menggunakan otoritasnya untuk berbicara mengenai topik di luar bidang keahliannya. Contohnya, seorang pengusaha teknologi yang sukses memberi saran mengenai nutrisi, atau seorang aktor terkenal berkomentar mengenai kebijakan kesehatan masyarakat.
Situasi semacam ini berbahaya karena memanfaatkan white coat effect, atau yang dikenal sebagai appeal to authority fallacy. Kita terbiasa mempercayai orang yang memiliki jabatan atau dianggap ahli. Ketika seorang “ahli palsu” berbicara, otoritas yang sudah dimilikinya menjadi semacam halo yang membuat pendapat mereka pada bidang lain tampak lebih kredibel daripada kenyataannya. Bias kognitif ini dapat mendorong penyebaran informasi yang mengelirukan hanya karena siapa yang menyampaikannya, bukan karena isi yang disampaikan.
Logical Fallacies dan Perannya dalam Misinformasi
Misinformasi sering berkembang dengan memanfaatkan logical fallacies. Kesalahan logika ini bukan sekadar konsep akademis, melainkan fondasi dari argumen yang persuasif namun cacat, sehingga mudah mempengaruhi opini publik. Hal ini tentu berbahaya.
Appeal to Nature Fallacy
Kesalahan logika ini berpendapat bahwa sesuatu itu baik, benar, atau sehat hanya karena sifatnya “alami” atau “tidak diproses.” Misalnya, sebuah artikel mungkin mengklaim bahwa suatu pola makan lebih baik karena didasarkan pada “makanan nenek moyang kita,” atau bahwa obat herbal lebih manjur dibandingkan obat farmasi hanya karena berasal “dari alam.” Padahal, nenek moyang kita memang hanya mengonsumsi makanan alami, namun rata-rata hanya hidup hingga usia 30 tahun dan meninggal akibat penyakit yang kini dapat dicegah.
Penalaran semacam ini keliru karena mengabaikan fakta bahwa “alami” tidak selalu berarti “aman” atau “efektif.” Banyak tumbuhan beracun yang bersifat alami, dan banyak obat penyelamat nyawa yang justru bersifat sintetis. Dengan mengandalkan romantisasi terhadap alam, kesalahan logika (fallacy) ini dapat menyesatkan seseorang dalam mengambil keputusan tanpa dasar bukti ilmiah.
Baca Juga: Labubu, Stanley, dan Matcha Hype: Pelajaran tentang Perilaku Konsumen
Part-to-Whole Fallacy
Kesalahan ini juga dikenal dengan sebutan fallacy of composition, yaitu kesalahan dalam mengasumsikan bahwa jika satu bagian dari sesuatu memiliki sifat tertentu, maka keseluruhannya juga pasti memiliki sifat yang sama.
Dalam konteks misinformasi, hal ini dapat muncul dalam bentuk klaim bahwa suatu produk sepenuhnya aman hanya karena salah satu bahannya dikenal tidak berbahaya. Padahal, kombinasi dari beberapa komponen atau interaksi dalam sistem yang lebih besar dapat menghasilkan efek yang berbeda. Kesalahan logika ini menyederhanakan kenyataan yang kompleks, sehingga menciptakan rasa aman atau pemahaman yang mengelirukan.
Menavigasi Lanskap Informasi
Untuk menghadapi derasnya arus misinformasi, kita perlu menjadi konsumen informasi yang lebih kritis. Jangan hanya melihat reputasi orang yang berbicara, tetapi periksa juga bukti yang mereka gunakan. Dengan mengenali logical fallacies dan bias, kita dapat lebih terlindungi dari narasi manipulatif dan menyesatkan.
Komunikasi merupakan proses dua arah. Kita harus waspada terhadap kesalahan penalaran yang berasal dari orang lain sekaligus dari diri kita sendiri. Seorang komunikator yang baik mampu membangun argumen yang kuat dan dapat bertahan dalam pengujian. Sebaliknya, kemampuan untuk mengidentifikasi kelemahan argumen orang lain memungkinkan kita merespons lebih efektif serta terlibat dalam diskusi yang produktif.
Kemampuan ini tidak hanya meningkatkan cara kita menyampaikan gagasan, tetapi juga membantu memahami sudut pandang orang lain dengan lebih baik. Pada akhirnya, tujuan dari praktik ini bukanlah mempermalukan pihak lain, melainkan untuk bekerja sama mencapai pemahaman yang lebih jelas dan akurat mengenai dunia. Dengan begitu, kita semua dapat mengambil keputusan yang lebih baik.
Kepribadian
Tags: Konsultasi, Sifat Positif, Pertumbuhan, Jadilah Seorang Pemimpin
References:
Wong M. Red flags for unreliable sources: a guide. Lab Muffin Beauty Science. October 23, 2024. Accessed August 12, 2025. https://labmuffin.com/red-flags-for-unreliable-sources-a-guide/
Ethan adalah Head of Production di Leaderonomics. Ia berasal dari Selandia Baru dan kini menikmati hidup serta kuliner di Malaysia. Ia tertarik pada cara orang berpikir, berinteraksi, dan menemukan makna melalui psikologi, filsafat, dan kisah manusia. Karyanya menggabungkan wawasan dan rasa ingin tahu, menjadikan ide yang kompleks lebih mudah dipahami dan relevan untuk keseharian.