Jangan Remehkan Healing: Self-Care Bukan Manja, Tapi Survival

Daniel & Hannah Snipes, Pexels
Kita hidup di masa ketika segalanya terasa cepat: notifikasi datang bertubi-tubi, target kerja tak pernah berhenti, dan ekspektasi sosial terus bertambah. Di tengah semua itu, banyak orang mulai menyadari pentingnya untuk berhenti sejenak, untuk “healing.”
Sayangnya, kata ini sering mendapat label negatif. Healing dianggap alasan untuk bermalas-malasan, bentuk pelarian dari tanggung jawab, atau sekadar tren yang muncul karena pengaruh media sosial. Namun benarkah demikian? Bukankah justru di tengah dunia yang begitu bising dan penuh tekanan ini, self-care menjadi cara paling logis untuk tetap waras dan bertahan?
Kenyataannya, banyak yang tidak menyadari bahwa menjaga diri sendiri di era serba cepat ini bukan kemewahan, melainkan kebutuhan. Healing bukan tentang menghindar dari kehidupan, melainkan menyiapkan diri untuk menjalaninya dengan lebih sehat, sadar, dan berkelanjutan.
Tekanan yang Tak Kasat Mata
Sekilas, kehidupan modern terlihat penuh peluang. Informasi mudah diakses, karier bisa dimulai dari mana saja, dan koneksi sosial terbuka lebar lewat internet. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi tekanan yang tidak kasat mata.
Rasa lelah mental sering kali muncul tanpa peringatan.
Orang terlihat aktif di luar, tapi di dalam, mereka berjuang melawan burnout yang tidak berhenti.
Baca Juga: Burnout: Ketika Stres Menjadi Teman Sehari-hari dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Tugas yang menumpuk, jadwal kerja yang padat, dan tekanan sosial untuk selalu “tampak sukses” membuat banyak orang kehilangan arah dan makna.
Beban digital juga memperparahnya. Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang sedang baik-baik saja, padahal yang terlihat hanyalah hasil editan dan potongan momen terbaik. Ketika terus membandingkan diri dengan standar tidak nyata itu, rasa cukup perlahan menghilang.
Tekanan sosial semacam ini tak selalu tampak, tapi efeknya nyata. Energi habis, motivasi menurun, dan kehidupan terasa seperti kompetisi tanpa akhir. Dalam situasi seperti itu, healing bukan tanda menyerah. Melainkan cara untuk bertahan agar tidak kehilangan diri sendiri.
Mindset Baru: Healing sebagai Strategi Bertahan
Mengambil jeda tidak berarti malas. Rehat tidak berarti gagal. Justru, di dunia yang menuntut produktivitas konstan, kemampuan untuk berhenti adalah bentuk kekuatan. Healing seharusnya dipandang sebagai bagian dari resilience, kemampuan untuk kembali berdiri setelah kelelahan, kecewa, atau kehilangan semangat.
Misalnya, seseorang yang memilih berhenti sejenak dari media sosial bukan karena anti-sosial, tapi karena ingin kembali mengenal dirinya tanpa distraksi. Atau seorang pekerja yang mengambil cuti sehari tanpa alasan “penting,” semata untuk menata ulang pikirannya.
Tindakan-tindakan sederhana ini sering diremehkan, padahal justru bisa menyelamatkan seseorang dari kelelahan jangka panjang.
Healing bukan bentuk pelarian, tetapi strategi. Ia mengajarkan bahwa bertahan tidak selalu berarti terus bergerak, kadang justru berarti tahu kapan harus berhenti. Dengan pemikiran seperti ini, seseorang tidak lagi memandang self-care sebagai kelemahan, tapi sebagai langkah cerdas untuk menjaga growth jangka panjang.
Self-Awareness: Kunci Self-Care yang Autentik
Namun, healing yang efektif tidak bisa sembarangan. Ia memerlukan self-awareness, kesadaran penuh terhadap kondisi diri sendiri. Banyak orang salah mengartikan self-care sebagai aktivitas konsumtif: belanja, staycation, atau hangout di tempat estetik. Padahal inti dari self-care adalah mengenali kebutuhan terdalam: apa yang sebenarnya membuat lelah, apa yang sedang hilang, dan bagaimana memulihkannya secara bermakna.
Self-awareness berarti berani jujur terhadap diri sendiri.
Berani mengakui bahwa sedang tidak baik-baik saja.
Berani menolak ajakan ketika butuh istirahat.
Berani memprioritaskan diri tanpa merasa egois.
Contoh konkretnya bisa sangat sederhana:
- Tidur tepat waktu tanpa tergoda lembur.
- Menyisihkan waktu sepuluh menit untuk refleksi atau journaling setiap malam.
- Membangun kebiasaan kecil seperti olahraga ringan atau membaca buku sebelum tidur.
Langkah-langkah kecil ini mungkin terlihat sepele, tapi dampaknya besar. Dengan self-awareness, seseorang bisa menjaga keseimbangan hidup dengan cara yang lebih sustainable. Ia tahu kapan harus fokus, kapan harus rehat, dan kapan harus melepaskan.
Tantangan Budaya: Antara Produktivitas dan Kesehatan Mental
Masalah terbesar justru datang dari budaya yang masih menilai seseorang berdasarkan seberapa sibuk ia terlihat. Dalam banyak lingkungan, kerja tanpa henti masih dianggap simbol dedikasi. Sedangkan istirahat, dianggap kemewahan.
Tak heran jika banyak orang merasa bersalah ketika mengambil jeda. Ada ketakutan dianggap tidak cukup ambisius, tidak cukup tangguh, atau bahkan tidak cukup berguna. Padahal, produktivitas yang sehat hanya bisa lahir dari tubuh dan pikiran yang terjaga.
Beberapa organisasi kini mulai mengubah pola pikir ini. Mereka menyediakan mental health day, konseling, dan sistem kerja fleksibel. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keseimbangan hidup bukan ancaman bagi produktivitas, melainkan bahan bakarnya.
Baca Juga: Memahami Perbedaan Kesehatan Mental dan Kesehatan Emosional
Individu yang punya waktu untuk healing biasanya justru lebih kreatif, lebih fokus, dan lebih tahan menghadapi tekanan. Artinya, self-care bukan sekadar urusan pribadi, tapi juga investasi sosial dan ekonomi.

KoolShooters, Pexels
Dari Self-Care ke Community-Care
Meski penting, healing tidak selalu cukup dilakukan sendirian. Ada kalanya pemulihan membutuhkan ruang yang lebih besar: dukungan sosial, empati, dan kebersamaan. Di sinilah konsep community-care menjadi relevan.
Community-care berarti saling menjaga. Membangun lingkungan di mana orang bisa merasa aman untuk bercerita tanpa takut dihakimi. Di mana rehat tidak dilihat sebagai kelemahan, melainkan kebutuhan manusiawi.
Bentuknya bisa beragam:
- Grup pertemanan yang saling mengingatkan untuk istirahat.
- Komunitas online yang berbagi tips kesehatan mental.
- Ruang kerja atau kampus yang memberi ruang untuk refleksi, bukan hanya target.
- Keluarga yang mulai memahami bahwa “diam di kamar” bukan tanda malas, tapi mungkin cara seseorang memulihkan diri.
Dalam konteks ini, healing menjadi gerakan kolektif. Ia tidak hanya memulihkan individu, tapi juga menumbuhkan empati sosial. Dari sini, lahirlah keseimbangan baru: kehidupan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian, tetapi juga keberlanjutan emosional.
Healing Bukan Lari, Tapi Pulang
Ada cara lain untuk memandang healing. Bukan sebagai pelarian dari realitas, melainkan perjalanan kembali ke diri sendiri. Kita sering sibuk memenuhi ekspektasi orang lain hingga lupa siapa diri kita. Healing membantu menutup jarak itu. Ia memberi waktu untuk mendengarkan pikiran, mengurai emosi, dan menata ulang arah hidup.
Healing bukan tentang menjauh dari dunia, tapi tentang kembali dengan versi diri yang lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap menghadapi tantangan. Seperti mengisi ulang baterai: bukan berarti alat itu rusak, tapi karena ingin terus berfungsi optimal.
Baca Juga: Tetap di Zona Nyaman atau Mencari Tantangan? Pertimbangan Karier Anda
Kesimpulan
Di tengah dunia yang cepat dan menuntut, healing bukan simbol kelemahan, namun merupakan bentuk ketahanan. Rehat sejenak, menyendiri, atau sekadar bernapas dalam diam adalah langkah-langkah kecil untuk menjaga kewarasan dan mempertahankan makna hidup.
Dengan mindset yang sehat, self-awareness yang kuat, dan resilience yang tumbuh dari pengalaman, healing menjadi cara untuk terus bertumbuh tanpa kehilangan arah. Lebih dari itu, ketika self-care berubah menjadi community-care, kita belajar satu hal penting: tidak ada yang benar-benar bisa bertahan sendirian.
Jadi, mungkin sudah waktunya berhenti menganggap healing sebagai kemewahan atau kelemahan. Ia adalah bentuk keberanian baru, berani berhenti di dunia yang terus berlari, berani menjaga diri di tengah tuntutan yang bising, dan berani pulang ke diri sendiri sebelum semuanya terlambat.
🤍 Karena di dunia yang terus bergerak, kadang cara paling berani untuk bertahan adalah dengan beristirahat sejenak.
Kepribadian
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Konsultasi, Pertumbuhan, Sifat Positif
Manisha adalah editor dan penulis di Leaderonomics. Ia percaya tulisan memiliki kekuatan untuk belajar dan membawa perubahan dengan menginspirasi banyak orang.