Lepas dari Perangkap Negativitas dalam Kepemimpinan

Sep 23, 2025 6 Min Read
Wanita Menegur Dua Rekan Kerja Di Kantor
Sumber:

Antoni Shkraba Studio, Pexels

Banyak orang percaya bahwa kita melihat dunia dengan kacamata berwarna merah muda. Namun kenyataannya berbeda. Lebih tepatnya, seolah kita mengenakan kacamata hitam pekat yang menutupi sebagian besar cahaya matahari, atau dalam analogi ini, sisi positif kehidupan.

Masalah dimulai dari negativity bias. Ini adalah kecenderungan untuk lebih memperhatikan, mempelajari, dan menggunakan informasi negatif dibandingkan informasi positif. Para psikolog menjelaskan bahwa hal ini berasal dari masa ketika manusia hidup di padang savana dan harus selalu waspada terhadap ancaman. Mengawasi harimau yang bersembunyi di dekat sumber air jauh lebih penting dibandingkan memperhatikan pohon buah yang tersedia.

Negativity bias masih terus ada hingga kini, hanya dalam bentuk yang berbeda. Contoh nyata adalah lebih dari 90% berita yang kita konsumsi bernada negatif, padahal banyak hal baik juga terjadi di dunia. Mengapa demikian? Kembali lagi pada analogi harimau tadi.

Seberapa dalam bias ini memengaruhi kita? Sekitar 80% pikiran kita bersifat negatif. Bahkan 98% pikiran kita hari ini sama seperti yang kita miliki kemarin.

Artinya, kita terus mengulang pikiran negatif. Kita meneguhkannya, mengulanginya, dan jarang menyadarinya.

Jika hal ini terdengar sulit dipercaya, coba perhatikan self-talk Anda ketika sedang berada dalam suasana hati buruk. Setelah penyebab utama rasa tidak nyaman lewat, biasanya muncul pikiran seperti: “Ini terlalu sulit. Saya tidak mampu. Saya tidak cukup pintar. Saya pasti gagal.”

Baca Juga: Pemimpin Seperti Apa yang Mendapatkan Kepercayaan Gen Z?

Dampak Pemimpin yang Negatif

Pola pikir negatif jauh lebih berbahaya ketika ada pada diri pemimpin. Hal ini karena pemimpin memiliki pengaruh besar terhadap timnya. Seorang pemimpin lebih berpengaruh terhadap suasana hati seseorang dibandingkan dokter, terapis, bahkan pasangan hidup. Apa yang dirasakan pemimpin akan dengan mudah menular pada orang lain.

Fenomena ini disebut emotional contagion. Jika Anda merasa bahagia, maka kebahagiaan itu kemungkinan besar akan tertular kepada orang di sekitar Anda. Hal yang sama berlaku untuk emosi negatif. Jika Anda merasa cemas, marah, atau mudah tersinggung, tim Anda akan ikut merasakannya.

Negativitas yang berulang-ulang akan menumpuk. Pemimpin dengan sikap negatif biasanya memiliki tim dengan produktivitas rendah, keterlibatan lemah, stres tinggi, dan tingkat pergantian karyawan yang besar.

Tiga Bentuk Kepemimpinan Negatif

Kecenderungan negatif dapat muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya terus mencari masalah, tidak pernah merasa puas, melakukan micromanagement, mengkritik di depan umum, atau berprasangka buruk terhadap orang lain.

Ada tiga bentuk umum yang sering terlihat, berikut penjelasan dan cara mengatasinya.

Terlalu Menekankan Umpan Balik Negatif

Memberikan umpan balik adalah area di mana bias negatif sering kali muncul.

Penelitian menunjukkan bahwa 56% pemimpin lebih suka memberikan umpan balik negatif, sementara hanya 31% yang lebih suka memberikan umpan balik positif. Salah satu penyebabnya adalah karena pemimpin sering kali tidak memahami kekuatan dari umpan balik positif. Selain itu, mereka khawatir jika terlalu banyak memberi pujian maka umpan balik negatif tidak akan diperhatikan.

Namun terlalu menyoroti kekurangan orang justru menimbulkan dampak buruk. Hal ini memicu keterlibatan yang rendah, meningkatnya turnover, serta menurunnya produktivitas. Singkatnya, strategi ini malah menghambat pencapaian tujuan yang diinginkan pemimpin.

Sebuah artikel di Harvard Business Review menyimpulkan kelemahan pendekatan ini dengan jelas: Umpan balik negatif jarang membawa perbaikan. Sebaliknya, hal tersebut sering menimbulkan kecemasan, rasa lelah, dan bahkan depresi pada penerimanya.

Cara Mengatasi Umpan Balik Negatif

Ada syarat penting sebelum memberikan umpan balik. “Agar umpan balik yang membangun dapat diterima, orang harus merasa dihargai dan diakui. Semua karyawan ingin tahu bahwa pemimpin mereka melihat hasil kerja keras mereka dan kontribusi mereka penting bagi organisasi,” kata Dr. Jay Campbell, Chief Product Officer Blanchard. “Ini adalah kebutuhan universal. Menunjukkan penghargaan mampu menciptakan rasa aman secara psikologis sehingga orang lebih terbuka menerima umpan balik.”

Ken Blanchard juga memberi saran sederhana, “Tangkap orang saat mereka melakukan hal yang benar.” Ingat bahwa dibutuhkan lima pujian untuk menetralkan satu komentar negatif. Berikan pujian dengan murah hati dan lihat bagaimana perubahan positif terjadi.

Umpan balik bisa dipahami sebagai tiga jenis. Negatif, konstruktif, dan transformatif.

  • Umpan balik negatif berpotensi merusak. Biasanya menyakiti penerima, memicu respons melawan atau menghindar, dan jarang meningkatkan kinerja. Umpan balik jenis ini sebaiknya dihindari, terutama jika sifatnya merendahkan atau personal.
  • Umpan balik konstruktif bersifat membantu dan sebaiknya menjadi praktik utama. Pemimpin memberikan pengamatan serta permintaan yang membantu seseorang berkembang. Disampaikan dengan hormat, mudah dipahami, dan mudah diterapkan. Tujuan utama adalah membantu orang sukses.
  • Umpan balik transformatif bersifat lebih mendalam. Isinya berupa wawasan yang dapat mengubah pola pikir seseorang. Jenis ini mengundang refleksi dan bahkan pencerahan. Tidak jarang, hal ini bisa mengubah arah karir seseorang.

Madeleine Homan Blanchard, Chief Coaching Architect Blanchard, menambahkan. “Sering kali manajer mengira umpan balik mereka sudah jelas, padahal tidak. Jika ingin perubahan terjadi, manajer harus spesifik tentang apa yang mereka lihat sekarang dan apa yang berbeda yang mereka butuhkan. Banyak karyawan meninggalkan percakapan dengan kebingungan, hanya merasa buruk tanpa tahu apa yang harus dilakukan.”

Ringkasnya, hindari umpan balik negatif. Biasakan memberi umpan balik konstruktif. Dan jika memungkinkan, berikan umpan balik transformatif.

Baca Juga: Bagaimana Pemimpin yang Berpengaruh Menyeimbangkan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

Membuat Keputusan yang Menghindari Risiko

Sebagian besar otak kita masih terprogram untuk menghindari cedera dan kerugian. Akarnya berasal dari kehidupan di padang savana, di mana menghindari hewan buas adalah kunci bertahan hidup.

Bias penghindaran risiko adalah salah satu bentuknya. Kita cenderung merasakan kerugian dua kali lebih menyakitkan dibandingkan rasa senang dari keuntungan yang setara. Psychology Today menyebutkan, “Kerugian terasa dua kali lebih menyakitkan dibandingkan keuntungan yang membuat bahagia.”

Pemimpin yang menghindari risiko biasanya fokus pada kemungkinan hasil negatif. Mereka tidak menilai situasi secara seimbang.

Ketakutan membuat mereka berpegang pada pilihan yang dianggap aman. Padahal pilihan itu belum tentu yang terbaik. Kadang jawaban justru ada pada pendekatan baru.

Ciri pemimpin yang terjebak pada bias ini adalah kecenderungan bertahan pada status quo. Mereka lebih sibuk melihat kerugian dibandingkan peluang. Akibatnya, pola pikir menjadi kaku dan masa depan yang lebih baik terlewat.

Dr. Campbell menegaskan. Tentu saja, mempertahankan status quo untuk beberapa hal ada gunanya. Kita tidak bisa mengubah segalanya dalam hidup kita secara bersamaan. Tapi perlu dipertimbangkan apakah kita memandang dunia secara objektif, atau melalui sudut pandang negatif, karena kebanyakan dari kita cenderung menghindari risiko dan meminimalkan manfaatnya.

Cara Mengatasi Bias Penghindaran Risiko

Praktik mindfulness bisa membantu menenangkan rasa takut akan kerugian. Intinya adalah memperlambat diri, menyadari pikiran, lalu memilih tindakan dengan lebih sadar. Banyak sumber daya daring tersedia untuk membantu pemimpin menjadikan mindfulness bagian dari gaya kepemimpinan. Manfaatnya pun luas, mulai dari pengambilan keputusan yang lebih baik hingga stres yang lebih rendah.

Refleksi diri juga penting. Tanyakan pada diri sendiri:

  • Apa yang sebenarnya saya takutkan?
  • Apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi risiko tetapi tetap melangkah?
  • Apa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi?
  • Apakah saya lebih memilih aman dibandingkan bertumbuh?

Setelah memahami alasan Anda menghindari risiko, fokuslah pada manfaat potensial. Ubah cara pandang agar bisa melihat peluang, bukan hanya ancaman.

“Pada akhirnya, mengambil risiko terukur adalah bagian dari tugas seorang pemimpin. Jika terus memilih jalur aman, maka hasilnya biasa-biasa saja. Mulailah dengan risiko kecil, lalu tingkatkan seiring bertambahnya keyakinan diri. Memiliki semangat bereksperimen,” saran Dr. Campbell.

Menyebarkan Pesimisme dalam Tim

Memimpin dengan sikap pesimis dalam tim membuat semuanya menuju kegagalan. Pemimpin yang selalu pesimis bisa terjebak dalam ketakutannya sendiri. Mereka lebih fokus pada masalah daripada peluang. Sikap ini menular kepada seluruh tim.

Ingat bahwa emosi pemimpin mudah menular. Pemimpin yang pesimis akan membuat tim ikut pesimis. Hasilnya adalah karyawan yang kehilangan semangat, keterlibatan rendah, minim inovasi, dan turnover lebih tinggi.

Selain itu, karyawan cenderung diam jika merasa ide mereka akan cepat ditolak. Akhirnya, tercipta lingkungan kerja tanpa rasa aman psikologis. Padahal ini sangat penting bagi kreativitas, kejujuran, dan produktivitas.

Pesimisme memang bisa terkait dengan masalah kesehatan mental yang lebih serius, namun ada cara sederhana untuk memperbaikinya.

Cara Mengatasi Pesimisme dalam Tim

Ada empat langkah sederhana:

  1. Fokus pada hal positif dan pembelajaran. Pemimpin yang optimis akan menekankan peluang daripada masalah. Mereka juga melihat kegagalan sebagai pelajaran, bukan akhir dari segalanya.
  2. Cari solusi, bukan hanya masalah. Otak kita juga dirancang untuk memecahkan masalah. Gunakan kemampuan ini dengan mencari beberapa solusi nyata untuk setiap masalah penting.
  3. Dorong tim untuk terus maju. Pemimpin pesimis menyeret tim ke bawah. Sebaliknya, pemimpin harus menjadi pendorong yang membawa tim bergerak sedikit demi sedikit menuju tujuan.
  4. Dekat dengan orang optimis. Lingkungan berpengaruh besar. Belajarlah dari pemimpin optimis, amati cara mereka berpikir, dan biarkan sikap positif mereka menular pada Anda.

Baca Juga: Bagaimana Pemimpin dan Tim Dapat Melepaskan Bersama

Menempatkan Negativitas pada Tempatnya

Negativity bias adalah bagian dari sejarah manusia. Namun kita tidak lagi hidup di masa lalu. Membiarkannya menguasai dunia kerja adalah hal yang merugikan.

Pemimpin bijak akan berusaha melepaskan diri dari perangkap ini.

Penelitian menunjukkan, manajer yang optimis dinilai jauh lebih baik oleh timnya dibandingkan manajer yang pesimis.

Bersikap optimis akan membawa kesuksesan, sekaligus karyawan yang lebih bahagia dan produktif. Ini memang pilihan sederhana, meski memerlukan tekad kuat. Tetapi keputusan ini sangat layak dijalani.

Share artikel ini

Doug Glener

Doug Glener adalah editor Blanchard’s Research Round-Up. Ia merupakan penulis dua buku dan telah menulis untuk Harvard Business School, Training Magazine, Chief Learning Officer, dan The Financial Times.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Seseorang dengan Tangan Prostetik Sedang Mengetik di Laptop

AI untuk Pemimpin Baru: Memberdayakan dan Menginspirasi

Bersama Lara Dollens, artikel ini mengajak generasi pemimpin baru untuk melihat AI bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai "tools" yang mampu memberdayakan. AI hadir membuka peluang dalam pendidikan, kesehatan, dunia kerja, hingga aksesibilitas agar hidup menjadi lebih inklusif dan bermakna.

Sep 09, 2025 4 Min Read

Leadernomics Indonesia

Kepemimpinan Yang Seimbang

May 22, 2023 25 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest