Apakah Anda Memimpin dengan Mode Auto-Pilot?

Terrence Bowen, Pexels
Beberapa tahun lalu, ketika saya melakukan perjalanan di Amerika Serikat, saya mendengar kisah tentang pasangan lansia yang sedang berlibur dengan kendaraan besar mereka, sebuah Recreational Vehicle (RV) atau yang biasa disebut motorhome di Australia. Itu adalah pertama kalinya mereka menggunakannya. Saat melihat fitur cruise control, mereka salah paham dan menganggapnya sebagai sistem mengemudi auto-pilot atau otomatis. Mereka pun mengaktifkan cruise control lalu pergi ke bagian belakang kendaraan untuk membuat kopi. Untung saja mereka tidak mengalami luka serius ketika kendaraan tersebut keluar dari jalur.
Anda mungkin berpikir, “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Namun faktanya, banyak pemimpin memimpin dengan cara yang tidak jauh berbeda.
Sering kali, pemimpin memiliki kumpulan strategi dan ide yang menjadi andalan. Mereka akan menggunakan pendekatan itu setiap kali merasa perlu, dengan keyakinan bahwa jika berhasil di masa lalu maka akan berhasil lagi. Dengan melakukan itu, mereka secara tidak sadar menempatkan gaya kepemimpinannya pada mode auto-pilot. Tidak jarang, mereka akhirnya terkejut ketika hasilnya tidak sesuai dengan harapan.
Baca Juga: Harapan: Keterampilan Hidup yang Perlu Kamu Miliki
Lingkungan Baru, Pendekatan yang Tepat
Berbagai riset menunjukkan bahwa antara 35% hingga 40% eksekutif baru gagal dalam 18 bulan pertama mereka menjabat. Persentasenya bahkan lebih tinggi untuk posisi di level bawah.
Sebuah survei global mengenai manajemen talenta yang melibatkan 5.000 manajer perekrutan dan 20.000 karyawan baru selama tiga tahun menemukan bahwa hanya 19 persen dari karyawan baru yang benar-benar mencapai kesuksesan.
Profesor Michael Watkins dalam bukunya The First 90 Days menulis, “Masa transisi adalah periode penuh peluang, kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, periode ini juga sangat rentan karena Anda belum memiliki hubungan kerja yang mapan serta belum memahami secara detail peran baru Anda.”
Kepemimpinan tidak bisa disamaratakan. Konteks adalah faktor penentu keberhasilan.
Pahami Konteks Anda
Konteks memiliki peranan besar dalam kepemimpinan. Cara pengambilan keputusan yang efektif dalam satu kondisi mungkin tidak lagi relevan dalam kondisi yang lain.
Sebagai contoh, seorang pemimpin yang sangat berhasil dalam lingkungan start-up, di mana ketidakpastian tinggi dan keputusan harus diambil cepat, bisa saja kesulitan ketika masuk ke organisasi mapan yang lebih menekankan pada proses dan aturan.
Untuk berhasil, pemimpin harus mampu menilai kebutuhan dan tantangan unik di lingkungannya. Mereka perlu menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan budaya, nilai, serta tujuan organisasi, sekaligus memahami tren industri dan dinamika pasar yang lebih luas.
Misalnya, suatu organisasi mungkin menekankan budaya inovasi dan keberanian menantang status quo. Namun organisasi lain bisa saja lebih menghargai budaya yang berfokus pada menjaga tradisi.
Menyesuaikan Diri dengan Perubahan
Hal yang paling pasti di dunia kerja saat ini adalah perubahan. Tren pasar terus bergerak, pesaing baru bermunculan, dan teknologi berkembang pesat hingga mendefinisikan ulang organisasi maupun industri.
Sebuah perusahaan yang sukses hari ini bisa saja mengalami kesulitan di masa depan. Artikel di Harvard Business Review menjelaskan bahwa banyak perusahaan pada akhirnya akan menghadapi perlambatan. Para penulis, Matthew Olson dan rekan-rekannya, mengaitkannya dengan tiga faktor utama, yaitu faktor eksternal, faktor strategis, dan faktor organisasional.
Ketika pemimpin menghadapi tantangan seperti ini, mereka harus siap dengan pendekatan baru. Mereka dituntut untuk lebih lincah, mampu mengubah strategi, serta berani menyesuaikan gaya kepemimpinan. Hal ini dapat mencakup evaluasi ulang terhadap tujuan organisasi, restrukturisasi tim, atau investasi dalam teknologi baru. Di samping itu, mereka juga harus terbuka terhadap masukan serta siap mengambil keputusan yang sulit.
Pada intinya, kepemimpinan adalah soal kemampuan beradaptasi.
Akademisi Ron Heifetz dan Marty Linsky memperkenalkan konsep kepemimpinan adaptif. Pendekatan ini didasari oleh kecerdasan emosional, pembelajaran berkelanjutan, keadilan organisasi, dan perilaku etis.
Dalam penelitian mereka, ada perbedaan antara tantangan teknis dan tantangan adaptif. Tantangan teknis biasanya memiliki hubungan sebab-akibat yang jelas. Meski tidak selalu mudah, seorang pemimpin dapat menyelesaikannya dengan pengetahuan dan sumber daya yang ada.
Namun, tantangan adaptif jauh lebih rumit dan menyeluruh karena akar permasalahannya sulit dikenali. Sering kali asumsi awal terbukti keliru. Untuk menyelesaikannya, pemimpin membutuhkan kolaborasi, pola pikir baru, kesediaan menantang asumsi, serta keberanian melakukan perubahan besar. Pemimpin adaptif mengamati peristiwa dan proses, lalu membentuk hipotesis untuk diuji agar menemukan intervensi terbaik.
Seperti yang disampaikan Robert J Anderson dan William Adams dalam bukunya Mastering Leadership, “Imperatif kepemimpinan sesungguhnya adalah memastikan efektivitas kepemimpinan setidaknya sejalan dengan laju perubahan dan semakin kompleksnya tantangan.” Artinya, seorang pemimpin tidak boleh berhenti belajar dan menyesuaikan cara memimpin mereka.
Membangun Kebiasaan Kepemimpinan Baru
Lebih dari 40% tindakan kita sehari-hari dilakukan berdasarkan kebiasaan. Kita sering melakukan sesuatu karena terbiasa, tanpa banyak berpikir.
Namun kebiasaan dalam kepemimpinan tidak selalu menguntungkan. Agar lebih efektif, pemimpin harus berani mematikan mode auto-pilot dan beralih pada pengambilan keputusan yang lebih sadar. Ini berarti secara sengaja menentukan tipe pemimpin seperti apa yang ingin dijalani.
Mulailah dengan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa orang harus mau dipimpin oleh saya?” Pertanyaan ini akan membantu Anda menemukan identitas kepemimpinan. Selain itu, mintalah umpan balik langsung mengenai kesenjangan antara cara Anda merasa memimpin dan cara Anda sebenarnya memimpin. Dengan memahami hal itu, Anda dapat melangkah menuju kepemimpinan yang lebih autentik.
Baca Juga: 6 Cara Membangun Kepemimpinan yang Mendorong Transformasi
Mengenali Tim Secara Personal
Pada akhirnya, tim Anda terdiri dari individu-individu yang memiliki kebutuhan berbeda untuk bisa berkembang. Saya sering menemukan pemimpin yang menggunakan pendekatan seragam kepada semua anggota timnya. Akibatnya, mereka gagal memahami kebutuhan spesifik setiap orang.
Meski konsistensi dan keadilan tetap penting, pemimpin perlu menyadari bahwa setiap anggota tim membutuhkan dukungan yang berbeda. Karena itu, kenali mereka satu per satu dan berikan dukungan yang sesuai agar setiap individu bisa berhasil.
Sebagai penutup, ada baiknya kita merenungkan kata-kata Tsedal Neeley, peneliti Harvard Business School. Dalam wawancaranya bersama Brené Brown dan Paul Leonardi, ia menggambarkan kepemimpinan sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah perpaduan antara puisi dan pipa. Pemimpin perlu memahami mekanisme, bagian teknis yang rumit. Namun mereka juga harus memahami pentingnya puisi untuk menyentuh hati dan pikiran orang. Kepemimpinan adalah tanggung jawab besar. Ia merupakan ilmu, keterampilan, sekaligus sesuatu yang harus dipelajari.”
Kepemimpinan
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Kepemimpinan Tanpa Batas, Pertumbuhan, Sifat Positif