Kepemimpinan Modern: Relevansi di Atas Senioritas

Oct 06, 2025 4 Min Read
Dua Wanita Memakai Kacamata Berdiri Bersama
Sumber:

Cottonbro Studio, Pexels

Dalam era digital, krisis iklim, dan perubahan pola kerja yang semakin fleksibel, masih ada satu warisan lama yang sulit ditinggalkan, yaitu glorifikasi senioritas. Dalam banyak organisasi, senioritas masih dipandang sebagai tiket otomatis untuk memperoleh penghormatan. Namun pertanyaan penting muncul, apakah senioritas benar-benar identik dengan kepemimpinan, atau justru hanya mempertahankan budaya yang sudah kehilangan relevansi?

Senioritas: Label yang Sering Disalahartikan

Senioritas umumnya diukur dari usia, masa kerja, atau urutan masuk dalam organisasi. Dalam tradisi lama, hal tersebut dijadikan dasar otoritas. Permasalahannya, senioritas kerap berhenti pada tataran simbolis. Tidak sedikit figur senior menduduki posisi tinggi semata karena lama bertahan, bukan karena kemampuan menghadirkan solusi.

Baca Juga: Apakah Anda Bos yang Baik atau Hanya Perasaan Anda Saja?

Fenomena ini terlihat di banyak perusahaan maupun institusi besar. Ada manajer senior yang tetap nyaman dengan pola kerja lama, menolak digitalisasi, hingga akhirnya tidak mampu bersaing dengan pemain baru. Senioritas bisa diibaratkan sebagai ponsel lawas yang masih disimpan karena alasan nostalgia, padahal sudah tidak lagi mendukung kebutuhan zaman sekarang.

Kepemimpinan: Soal Relevansi, Bukan Usia

Pemimpin sejati tidak diukur dari lamanya ia menempati kursi jabatan, melainkan dari sejauh mana ia mampu memberi arah, menggerakkan orang lain, dan membangun kepercayaan. Kepemimpinan masa kini menuntut pola pikir bertumbuh, keberanian beradaptasi, serta kesadaran diri untuk mengakui keterbatasan.

Banyak contoh menunjukkan bahwa figur dihormati bukan karena senioritas, tetapi karena gaya kepemimpinannya. Mereka mau mendengar, membuka ruang dialog lintas generasi, serta merespons isu-isu seperti keberlanjutan dan keadilan sosial melalui tindakan nyata. Hal inilah yang menjadikan mereka relevan, meskipun bukan yang paling tua di ruangan.

Ketika Senioritas Menjadi Penghalang

Perbedaan antara senioritas dan kepemimpinan semakin jelas ketika kita menimbang dampak negatif dari “kultus senioritas”:

1. Inovasi terhambat

Figur senior yang terlalu nyaman dengan rutinitas cenderung menolak ide baru. Akibatnya organisasi kehilangan momentum perubahan.

2. Hierarki menutup ruang suara

Budaya “diam sebelum menjadi senior” menumbuhkan iklim kerja yang tidak sehat. Generasi muda yang penuh ide akhirnya enggan menyuarakan gagasan.

3. Pudarnya kepercayaan

Institusi yang dipimpin oleh figur senior yang kaku sering dianggap tidak mampu merespons isu digitalisasi, keberlanjutan, maupun ketidaksetaraan. Publik kemudian lebih memilih suara alternatif, baik melalui komunitas independen, influencer, atau startup baru.

Fenomena quiet quitting hingga gelombang pengunduran diri besar-besaran setelah pandemi menjadi tanda nyata. Banyak anak muda meninggalkan pekerjaan bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak tahan menghadapi budaya senioritas yang menghambat inovasi.

Senioritas Sebagai Aset, Bukan Penghalang

Meskipun sering disalahgunakan, senioritas tetap dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan tepat. Caranya adalah dengan mengubah pola pikir:

1. “Paling tahu” menjadi “paling siap belajar”

Pengalaman panjang seharusnya membuat seseorang semakin terbuka untuk belajar hal baru. Sayangnya, tidak jarang senioritas justru melahirkan rasa paling tahu dan menutup diri terhadap ide-ide segar. Padahal dalam konteks dunia kerja yang terus berubah, sikap siap belajar jauh lebih berharga dibanding sekadar mengandalkan pengalaman masa lalu. Dengan kerendahan hati untuk terus belajar, figur senior tidak hanya menjaga relevansi dirinya, tetapi juga memberikan teladan positif bagi generasi muda.

2. “Penjaga pola lama” menjadi “mentor perubahan”

Peran seorang senior seharusnya tidak berhenti pada mempertahankan cara lama yang sudah terbiasa dilakukan. Justru pengalaman panjang memberi mereka peluang untuk menjadi mentor yang mampu membimbing generasi muda melewati tantangan baru. Dengan berbagi wawasan, mendukung keberanian mencoba hal berbeda, serta memberikan ruang bagi inovasi, senior dapat mengubah peran dari penghalang perubahan menjadi pendukung transformasi.

Baca Juga: 6 Cara Membangun Kepemimpinan yang Mendorong Transformasi

3. “Simbol masa lalu” menjadi “penghubung masa depan”

Senioritas tidak seharusnya menjadi sekadar tanda perjalanan panjang di masa lampau. Nilai dan pengalaman yang mereka miliki bisa menjadi penghubung penting antara generasi lama dan generasi baru. Dengan cara ini, tradisi dan kearifan lama tetap terjaga, sekaligus memberi ruang bagi ide-ide segar untuk tumbuh. Inilah bentuk kepemimpinan berkelanjutan, di mana masa lalu memberi fondasi, dan masa depan dibangun bersama melalui kolaborasi lintas generasi.

Kolaborasi Lintas Generasi

Daripada menganggap senioritas sebagai tiket otomatis, lebih bijak bila melihatnya sebagai sumber daya. Senior membawa pengalaman dan jaringan, sedangkan generasi muda menghadirkan energi, kreativitas, serta kecepatan adaptasi.

\Kombinasi keduanya dapat membentuk ketangguhan. Misalnya dalam gerakan lingkungan, aktivis muda sering menjadi motor aksi, sedangkan tokoh senior memberikan legitimasi dan akses kepada pemangku kebijakan. Kolaborasi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus lahir dari senioritas, melainkan dari sinergi.

Kesimpulan: Senioritas Bukan Kepemimpinan

Senioritas tanpa kepemimpinan sejati hanya menjadi beban bagi organisasi. Pemimpin lahir bukan dari usia atau lamanya masa kerja, tetapi dari keberanian, integritas, dan kemampuan untuk tetap relevan menghadapi tantangan zaman.

Refleksinya sederhana. Apakah kita ingin dikenang hanya karena paling lama duduk di kursi, atau karena benar-benar menghadirkan perubahan? Dunia tidak mencatat siapa yang paling senior, melainkan siapa yang berani berdiri untuk memimpin.

Share artikel ini

Alt

Manisha adalah editor dan penulis di Leaderonomics. Ia percaya tulisan memiliki kekuatan untuk belajar dan membawa perubahan dengan menginspirasi banyak orang.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

kerja di mana saja

Remote Working di Indonesia: Antara Kultur, Disiplin, dan Realita

Oleh Deddy Mahyarto Kresnoputro. Meski terlihat menjanjikan, mengapa penerapan remote working di Indonesia belum maksimal?

Jan 10, 2025 4 Min Read

Ilmu Kepemimpinan Ala Samurai

Ilmu Kepemimpinan Ala Samurai

Kira-kira, bagaimana kita bisa mengaplikasikan ilmu kepemimpinan ala samurai dalam kehidupan sehari-hari? Simak pembahasan lengkapnya pada livestream berikut ini! \

Jan 25, 2022 36 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest