Lembur: Seni Bertahan di Bawah Lampu Kantor

Oct 05, 2025 7 Min Read
Dua Lelaki di Dalam Kantor
Sumber:

Cottonbro Studio, Pexels

Di Indonesia, “lembur” bukan sekadar istilah di tempat kerja. Ia telah menjadi gaya hidup, perjalanan spiritual, bahkan hampir menyerupai olahraga nasional. Banyak orang mungkin menganggap dedikasi berarti menghasilkan pekerjaan berkualitas atau hadir tepat waktu. Namun, di Indonesia, komitmen sejati justru diukur dari seberapa lama seseorang tetap berada di kantor setelah yang lain pulang. Lembur telah melampaui nilai-nilai kerja tradisional, menjadikan konsep seperti “keseimbangan hidup dan kerja” terdengar asing dan tidak relevan. Mengapa harus repot dengan hobi, waktu tidur, atau keluarga jika bisa menatap layar Excel dengan mata setengah terpejam hingga jam 11 malam?

Bagi pekerja Indonesia, lembur adalah semacam ritual budaya. Mengorbankan waktu pribadi dipandang sebagai bentuk penghormatan diam-diam, sekaligus bukti kesetiaan tertinggi kepada perusahaan. Lupakan gambaran klasik tentang “pekerja keras”, karena nilai Anda sebagai karyawan kini ditentukan oleh sejauh mana Anda bisa menukar kehidupan sosial dengan jam tambahan di kantor. Menariknya, lembur juga bersifat demokratis. Dari direktur utama hingga intern baru, semua disatukan oleh cahaya lampu kantor yang masih menyala larut malam. Lembur telah terjalin erat dalam budaya kerja Indonesia, mendefinisikan ulang arti “dedikasi” dan “kesuksesan” sebagai sesuatu yang tetap berjalan lama setelah makan malam basi di meja.

Baca Juga: Rahasia Sukses di Tempat Kerja: Peran Penting Kecerdasan Emosi

Pesona Lembur: Karena Siapa Butuh Waktu Luang?

Di Indonesia, tidak ada yang menunjukkan komitmen seperti tatapan kosong ke layar komputer jauh melewati jam kerja. Cahaya dingin lampu kantor memang menyerupai ruang tunggu, tetapi bagi penggemar lembur sejati, suasana itu sama hangatnya dengan cahaya lilin. Lembur adalah lencana kehormatan yang berkata, “Saya peduli begitu dalam hingga rela mengorbankan batas pribadi.” Dunia korporasi Indonesia mengagungkan sosok pekerja lembur, seakan jam tambahan di kantor adalah semacam ziarah menuju pencerahan, dan Anda berada di barisan terdepan.

Daya tarik lembur terletak pada kesederhanaannya. Ia merupakan perpaduan antara kewajiban, pengorbanan, dan kemampuan untuk membuat pekerjaan tampak jauh lebih menyakitkan daripada kenyataannya. Semua orang bisa menyelesaikan tugas. Tetapi menunjukkan loyalitas sejati berarti menampilkan wajah letih, menekankan kesan pengorbanan pribadi, dan membiarkan diri terlihat sedikit menderita. Performa nyata? Itu dianggap usang. Lembur bukan soal hasil, tetapi soal daya tahan untuk terlihat lelah, menatap kosong, serta menghela napas pada waktu yang tepat demi memberi kesan maksimal. Inilah cara utama mendaki tangga karier.

Ukuran produktivitas dan KPI kini dianggap benda antik dalam museum efisiensi Indonesia. Tolak ukur kesuksesan yang sebenarnya adalah kemampuan bermain lembur. Mengapa harus menyelesaikan pekerjaan secara efisien jika bisa terlihat kelelahan saat melakukannya? Lupakan mitos keseimbangan hidup dan kerja. Strategi yang lebih unggul justru ketidakseimbangan itu sendiri. Bagi mereka yang ambisius, sehari tanpa lembur terasa seperti kehilangan pengakuan.

Teater Produktivitas: Lembur Sebagai Seni Pertunjukan

Lembur bukan hanya tentang mengerjakan pekerjaan tambahan. Ia adalah pertunjukan untuk terlihat seolah-olah Anda benar-benar menderita karenanya. Para penggemar lembur yang sejati tahu bahwa duduk di meja kerja setelah jam kantor saja tidak cukup. Tubuh harus menunjukkan keletihan, dengan bahu merosot, lingkaran hitam di mata yang berkata “saya tidak tidur berhari-hari”, serta keluhan tentang “deadline” yang diucapkan setiap beberapa jam. Jika Anda tampak siap pingsan menjelang tengah malam, maka Anda sudah berhasil menangkap esensi lembur.

Dan tentu saja, ada puncak dari seluruh drama ini: foto selfie #lembur menjelang tengah malam. Agar benar-benar berkesan, foto harus menampilkan jam di belakang layar yang menunjukkan pukul 11:53 malam, lengkap dengan caption yang menyiratkan dedikasi, meski tiga jam sebelumnya mungkin hanya dihabiskan untuk men-scroll TikTok. Media sosial adalah panggung Anda, dengan teman kerja sebagai penonton setia. Pesannya jelas, “Lihat betapa keras saya bekerja,” sambil memberi kesan bahwa batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi tidak lagi ada.

Apakah produktivitas nyata terwujud dalam jam tambahan itu? Tidak ada yang peduli. Lembur lebih tentang penampilan dibandingkan hasil. Malam-malam panjang itu bisa saja dipakai untuk menonton video kucing atau membuka 37 tab browser tanpa mengerjakan apa pun. Lembur adalah selebrasi budaya kerja Indonesia yang terobsesi dengan “terlihat sibuk”. Apakah pekerjaan selesai atau tidak, hal itu hanya nomor dua. Yang benar-benar penting adalah betapa meyakinkannya Anda terlihat lelah saat lampu kantor akhirnya padam.

Baca Juga: 5 Tanda Lingkungan Kerja yang Tidak Jelas dan Cara Mengatasinya

Pria Memegang Wajah Karena Stres Di Meja Kerja

Cottonbro Studio, Pexels

Dinamika Sosial Lembur: Tekanan Teman Sebaya Sebagai Motivasi Utama

Lembur berfungsi seperti ajang kompetisi popularitas, dengan semboyan tak tertulis: “Jangan pulang jika masih ada orang yang bertahan.” Sama seperti jeda kopi tambahan yang sebenarnya tidak diinginkan siapa pun tetapi tetap diikuti, lembur tumbuh karena tekanan sosial. Situasinya sederhana. Anda melihat jam hampir pukul 6 sore dan merasa ingin pulang, tetapi tiba-tiba melihat rekan kerja menyesuaikan monitor dengan posisi “siap lembur malam ini”. Seketika muncul pengingat halus bahwa pulang lebih awal dianggap kelemahan. Tidak ada yang ingin menjadi orang yang merusak kebersamaan itu.

Kekuatan sebenarnya justru berasal dari atasan. Mereka bahkan tidak perlu berkata “tetaplah di kantor” karena kehadiran diam-diam mereka sudah cukup memberi pesan. Jaket yang sengaja dibiarkan tergantung di kursi atau laptop yang masih menyala menjadi simbol bahwa mereka masih berada di sekitar. Nyatanya, mungkin saja mereka hanya bersantai di ruang istirahat sambil melihat media sosial atau skor sepak bola. Namun ‘kesan’ telah tercipta. Sang atasan siap bertahan, seolah menjadi gembala yang memimpin kawanan lembur setia.

Di titik ini, lembur menjelma menjadi ritual kebersamaan satu kantor. Ada tatapan singkat, keluhan berbisik, dan rasa takut kolektif untuk menjadi orang pertama yang berkemas. Tidak seorang pun ingin terlihat seperti pengkhianat yang lebih memilih pulang daripada menanggapi email “mendesak”. Mentalitas kelompok pun mengambil alih. Pulang tepat waktu terasa seperti tindakan berbahaya, seolah meninggalkan kapal yang masih berlayar. Akhirnya, mereka tetap bertahan bersama, menatap layar hingga kantor perlahan ikut menyerah dan tenggelam dalam gelap.

Ritual “Makan Malam Lembur”: Pesta Tengah Malam dengan Rasa Ironi

Setelah berjam-jam menatap layar dan tubuh mulai lunglai, pekerja Indonesia akhirnya mendapat hadiah berupa “makan malam lembur”. Inilah penghargaan atas kesabaran menghadapi deretan angka di spreadsheet, berupa mi instan, camilan gorengan, dan kopi dari biji yang entah sejak kapan disangrai. Bayangkan perpaduan antara Perjamuan Terakhir dengan suasana kantin sekolah tengah malam, lengkap dengan hidangan instan yang jauh dari kata bergizi.

Namun, di balik kesederhanaan itu, ada sensasi kemewahan yang aneh. Mi instan dengan bumbu misterius dan tempe goreng dengan tekstur menyerupai kardus telah menjadi legenda lembur. Tidak ada taplak putih, hanya plastik pembungkus, tetapi ada rasa kebersamaan yang kuat ketika semua orang menyantap sajian darurat itu. Anehnya, makan malam lembur justru menjadi tanda kehormatan. Ini adalah perjamuan tengah malam bagi mereka yang sudah kehilangan harapan tidur lebih awal.

Saat para pekerja berkumpul mengelilingi mangkuk berminyak penuh MSG, sejenak mereka bisa melupakan beban inbox. Semua setara pada momen itu. Intern, manajer, bahkan atasan ikut duduk bersama, menyantap harta karun dari mesin penjual otomatis sambil berbagi rasa lelah. Siapa yang butuh outing perusahaan dengan biaya besar atau permainan “team building” murahan, jika bisa mencicipi euforia mi instan bersama? Makan malam lembur adalah simbol solidaritas. Pernyataan bahwa “kita semua di sini bersama, sampai stok mi habis.”

Imbalan Sejati Lembur: Membuktikan Anda Karyawan yang “Asli”

Orang Indonesia mengenal pepatah, “Rajin pangkal kaya.” Namun dalam dunia lembur, kerja keras bukan soal harta, melainkan tentang menyempurnakan seni menambah jam kerja demi pengakuan perusahaan. Tidak ada bonus yang menanti, hanya label “pegawai dapat diandalkan.”

Keluarga, hobi, dan kehidupan sosial adalah kemewahan bagi mereka yang tidak sepenuhnya berkomitmen. Dedikasi sejati berarti menunda makan malam demi revisi PowerPoint, memperlakukan laporan kuartalan perusahaan seolah kelahiran anak pertama, dan menjadikan tidur sebagai sesuatu yang bisa ditunda tanpa batas. Sebuah anggukan kecil dari manajemen lebih berharga daripada tambahan gaji berapa pun.

Baca Juga: Kenapa Karier Kamu Stagnan dan Gaji Nggak Naik-naik?

Namun jangan salah. Lembur sebenarnya bukan soal menaiki tangga karier. Promosi hanyalah untuk mereka yang masih menganggap tidur itu penting. Trofi sejati dalam lembur adalah kepuasan batin mengetahui bahwa suatu hari Anda bisa bercerita kepada cucu tentang pengalaman begadang hingga pukul tiga pagi demi presentasi yang bahkan tidak Anda sukai. Mereka mungkin tersenyum, atau sekadar khawatir, saat mendengar kisah heroik masa muda Anda sebagai karyawan yang rela berkorban tanpa batas di medan perang kantor Indonesia.

Sementara dunia mengejar kesuksesan finansial, lembur menawarkan jalur lain. Kesempatan untuk bergabung dengan jajaran karyawan sejati yang dikenang karena memberi segalanya tanpa meminta balasan. Inilah arti sebenarnya dari “pangkal kaya”.

Maka angkatlah gelas kopi mesin kantor untuk lembur, pahlawan tanpa tanda jasa dalam kehidupan perkantoran Indonesia. Di mana lagi seseorang bisa dengan bangga berkata, “Saya bekerja sepanjang akhir pekan,” dan menerima anggukan hormat, bukan rasa kasihan? Dalam dunia yang sibuk mengejar usaha sampingan dan proyek hobi, Indonesia punya jalannya sendiri. Lembur yang sederhana namun penuh gengsi. Setiap email larut malam dan setiap mi instan dingin adalah batu pijakan menuju pengakuan korporat.

Mari beri penghormatan kepada para pejuang sunyi ini. Mereka yang layar komputernya tetap menyala menerangi kantor kosong, mereka yang tanpa alasan jelas memilih lembur sebagai panggilan hidup. Mereka adalah penjaga spreadsheet larut malam, arsitek tak dikenal dari kapitalisme Indonesia, dengan pengorbanan yang tercatat pada setiap makan malam yang terlewat dan setiap tremor karena kafein.

Salam hormat untuk lembur, simbol status tak resmi pekerja Indonesia. Bagi setiap karyawan dengan mata lelah yang terus melangkah menuju kelelahan, lembur adalah bukti komitmen sejati. Semoga tradisi ini tetap bertahan lama.

Artikel ini pertama kali di rilis oleh Leigh McKiernon (Founder StartEx) di Career Candour.

Share artikel ini

Alt

Leigh Mckiernon adalah konsultan manajemen dengan 18 tahun pengalaman dalam konsultasi organisasi dan rekam jejak mendukung perusahaan di Asia Tenggara sejak 2009. Saat ini juga berperan sebagai Editor di Career Candour serta Managing Director dan Founder di StratEx, Indonesia Business Advisory

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Seorang Wanita dan Pria Sedang Berbicara Hal Penting

Bagaimana Menjadi Mentor yang Lebih Baik dan Mengapa Itu Penting

Artikel ini Ditulis Oleh : Jessica Thiefels. Bagaimana Menjadi Mentor yang Lebih Baik dan Mengapa Itu Penting

Jun 19, 2023 4 Min Read

ide

Mempertahankan Ide Mu

Dr. Pyatt dalam video ini secara singkat dan padat mengemukakan pandangannya tentang bagaimana mempertahankan ide-ide Anda dan apa yang perlu Anda lakukan jika ide-ide Anda tidak segera mendapatkan respons seperti yang Anda harapkan,

Jan 14, 2021 1 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest