Otomasi Pemasaran: Utopia atau Distopia?

Jan 28, 2022 5 Min Read
Otomasi Pemasaran: Utopia atau Distopia?
Sumber:Lukas dari Pexels.com
Kupas Tuntas Otomasi Pemasaran (Marketing Automation)

Perusahaan harus mempertimbangkan psikologis konsumen dan tidak semata-mata memaksimalkan keuntungan 

Semua proses bisnis kini dapat berjalan secara otomatis, baik itu segmentasi produk hingga penghitungan harga. Kemampuan untuk melacak perilaku individu secara daring dan menggabungkan sumber data tersebut semakin memungkinkan pemasar untuk menargetkan konsumen. Berkat teknologi pembelajaran mesin atau machine learning, kita semua dapat menerima promosi dan iklan yang tepat sasaran dalam waktu nyata. 

Otomasi pemasaran efektif dalam meningkatkan keuntungan perusahaan, sebab konsumen menikmati penawaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, hal tersebut bisa saja menimbulkan konsekuensi ekonomi dan psikologis konsumen

Lantas, bagaimana caranya memastikan agar otomasi pemasaran tidak menimbulkan distopia?

Maksimalisasi Laba

Perusahaan memaksimalkan laba saat mereka menjual barang atau jasa dengan harga tertinggi yang rela dibayarkan konsumen (willingness to pay). Sebelumnya, pemasar tidak bisa memprediksi WTP konsumen karena mekanisme yang ada masih bersifat konvensional. Hal tersebut berubah ketika teknologi machine learning dapat memprediksi WTP konsumen yang lebih akurat di era digital saat ini. 

Dalam sebuah eksperimen, perusahaan rekrutmen ZipRecruiter.com menemukan bahwa mereka dapat meningkatkan keuntungan lebih dari 80% dengan mengadopsi algoritma penghitungan harga dari ratusan variabel konsumen. Di sisi lain, Uber tercatat menggunakan machine learning untuk menentukan rute dan tarifnya berdasarkan waktu. Berkaitan dengan hal ini, Uber bisa saja memanfaatkan riwayat perjalanan konsumen dan data pribadi lain untuk menerapkan personalisasi harga yang lebih akurat.

Terlepas dari teknologi yang semakin canggih, serba-serbi otomasi tersebut bisa saja menggelisahkan konsumen. Sementara personalisasi harga dapat menguntungkan konsumen dengan WTP yang lebih rendah (yang mungkin akan dikenakan harga di bawah rata-rata pasar), banyak konsumen cenderung akan membayar harga yang lebih dekat dengan WTP mereka. 

Baca juga: Apa itu Big Data dan Mengata itu Penting?

Kompensasi rendah untuk data pribadi konsumen

Pada umumnya, konsumen dengan senang hati memberikan informasi tentang preferensi dan WTP mereka. Namun, bukankah mereka seharusnya menerima kompensasi untuk itu? Menanggapi hal tersebut, perusahaan berargumen bahwa konsumen menerima keuntungan dari promosi yang tepat sasaran dan layanan gratis seperti video YouTube, media sosial, dan lain sebagainya.

Dalam sebuah penelitian yang saya lakukan dengan rekan INSEAD lain bernama Daniel Walters dan Geoff Tomaino, kami menemukan bahwa konsumen secara sistematis menurunkan harga data pribadi mereka ketika mereka menukarnya dengan barang atau jasa daripada dengan uang. Sebagai contoh, mari kita lihat pengguna media sosial. Pengguna “membayar” layanan platform tersebut dengan data pribadi mereka yang dapat dimanfaatkan platform bersangkutan untuk menghasilkan keuntungan dari iklan. Berdasarkan hasil eksperimen kami, tampak bahwa konsumen menurunkan nilai data pribadi mereka dalam transaksi non-moneter tersebut meskipun mereka paham akan betapa besarnya platform media sosial dalam meraup keuntungan.

Hilangnya Otonomi Individu

Kita semua menghargai hak untuk membuat keputusan sendiri yang bebas dari pengaruh luar manapun. Tanpa privasi, kita dapat diprediksi. Sementara itu, algoritma dapat dengan mudah memprediksi apapun tentang kita baik dari preferensi hingga minat kita untuk membeli sesuatu.

Eksperimen lain yang saya lakukan dengan Rom Schrift dari Wharton, University of Pensylvannia dan Yonat Zwebner menunjukkan bahwa konsumen merasa otonomi mereka terancam ketika memahami kemampuan algoritma dalam memprediksi pilihan suatu individu. Konsumen kemudian beralih dengan memilih opsi yang kurang disukai untuk membangun kembali rasa otonomi mereka. Maka dari itu, pemasar perlu memutar otak agar algoritma dapat diterima kembali oleh konsumen.

Algoritma Sebagai Kotak Hitam

Kompleksitas dari algoritma membuatnya rumit dijelaskan. Terlebih, banyak algoritma yang tidak dapat dibuat transparan karena alasan persaingan pasar. Konsumen kecewa dan pemerintah sebagai regulator pun cemas karena mereka tidak dapat memahami bagaimana algoritma bekerja, seperti misal ketika algoritma memblokir suatu transaksi atau memberikan batas kredit tertentu.

General Data Protection Regulation (GPDR) ayat 13-15 mewajibkan perusahaan untuk memberi konsumen “informasi tentang logika yang terlibat” dalam membuat keputusan otomatis semacamnya. Hasil eksperimen kami yang lain menunjukkan bahwa menginformasikan konsumen terkait alasan mengapa transaksinya ditolak sama pentingnya dengan mengetahui bagaimana algoritma sampai pada penilaian negatifnya. Ya, konsumen perlu memperoleh rasa keadilan dari memahami tujuan algoritma itu sendiri. 

Cara Mitigasi Distopia yang Disebabkan Otomasi Pemasaran

Tidak hanya pemerintah yang perlu mencegah dampak negatif dari otomasi pemasaran, namun perusahaan juga perlu menetapkan kebijakan yang mampu mengatasi rasa cemas konsumen. Otomasi pemasaran menimbulkan tantangan rumit yang membutuhkan serangkaian solusi. Hal ini meliputi regulasi data pribadi, penetapan mekanisme harga yang efisien untuk data pribadi, dan penerapan kebijakan privasi yang adil oleh perusahaan. Langkah-langkah berikut juga harus memiliki efek yang bersifat solutif.

  • Regulasi yang mendukung privasi dan kompetisi

Untuk meningkatkan efisiensi pasar (menghindari pengambilan data pribadi tanpa kompensasi yang sepadan untuk konsumen), pemerintah perlu melindungi privasi konsumen dan mendorong kompetisi. 

Lantas, hal ini menjadi teka teki. Pemerintah harus menjaga inovasi dan persaingan di antara bisnis berbasis data sehingga perusahaan tidak dapat memonopoli pasar mereka dengan mudah. Namun, kompetisi pasar membutuhkan pembagian data pribadi konsumen antar perusahaan, menyiratkan privasi yang lebih rendah (misal persyaratan iOS Apple yang memperoleh izin pengguna untuk melacak mereka di aplikasi lain seperti Facebok). 

Paradoks ini membutuhkan tindakan penyeimbangan yang baik. Solusinya mungkin dengan memberi konsumen kepemilikan legal atas data mereka dan membuat mekanisme bagi mereka untuk menjual atau menyewakan data mereka untuk mendorong persaingan pasar.

Baca juga: Pentingnya Konten Berkualitas untuk Website Bisnis

  • Transparansi data

Perusahaan harus memberikan konsumen hak atas data mereka sendiri. Sebab, transparansi terkait pengumpulan dan penggunaan data pribadi dapat membantu memulihkan kepercayaan konsumen terhadap otomasi pemasaran yang memiliki keuntungan dalam jangka panjang.

  • Melihat sisi positif dari algoritma

Meskipun terkadang membuat orang-orang skeptis, algoritma dapat memperbaiki hidup kita dan bekerja lebih efisien daripada manusia. Namun, perusahaan perlu menanggapi permasalahan konsumen dan pemerintah ketika merancang sebuah algoritma. Daripada menekankan bagaimana algoritma dapat memprediksi apa yang seorang konsumen akan lakukan, pemasar sebaiknya menyajikannya sebagai alat yang membantu konsumen dalam membuat pilihan yang sesuai dengan preferensi mereka. Maka dari itu, transparansi algoritma dapat menurunkan kecemasan konsumen tentangnya. 

Menghindari distopia otomasi pemasaran adalah kepentingan semua pelaku pasar yang sebaiknya diteruskan dalam jangka panjang. Karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan psikologi konsumen dan menahan godaan untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek mereka dengan mengorbankan kepercayaan konsumen.

Tonton juga:

Alt
Artikel ini diterbitkan ulang atas izin INSEAD Knowledge (http://knowledge.insead.edu). Hak Cipta INSEAD 2022.

Share artikel ini

Bisnis

Tags: Konsultasi

Alt
Klaus Wertenbroch adalah Ketua Profesor Manajemen dan Lingkungan Novartis dan Profesor Pemasaran di INSEAD. Wertenbroch mengarahkan Program Pemasaran Strategis, yang merupakan salah satu program Pendidikan Eksekutif INSEAD.
Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Alt

Pekerjaan Tidak Sama Dengan Latar Belakang Pendidikan

Oleh NURULATIKA YUNUS - Cara yang sangat penting mulailah dengan menentukan nilai, tujuan dan arti dari apa yang anda akan lakukan. Selanjutnya, nikmatilah prosesnya.

Dec 14, 2020 4 Min Read

Alt

Memelihara Budaya Kerja Bersama Tim

Dalam wawancara ini, kami banyak berbincang tentang bekerja tim. Dimitry sebagai seorang yang sampai sekarang ini sedang bekerja pada sebuah organsiasi yang terhitung telah dijalani selama 14 tahun sampai wawancara ini dilakukan melihat 4 point penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat menjalankan kepemimpinan tim.

Apr 28, 2021 33 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest