Berani Menolak Pekerjaan Demi Prioritas

Mikhail Nilov, Pexels
Berani Menolak Pekerjaan Demi Prioritas
Orang Indonesia sering dikenal ramah dan cenderung mengiyakan permintaan orang lain. Apapun yang diminta, biasanya dijawab dengan “iya…”, “boleh…”, atau “ya udah…”
Seorang kenalan saya, Reinald, bahkan punya prinsip untuk selalu meng-”iya”-kan setiap peluang bisnis yang datang. Tanpa mempertimbangkan kapasitas tim, ia mengambil semua pekerjaan, dengan alasan proyek bisa diatur belakangan jika ada kendala.
Pendekatan ini sebenarnya masih masuk akal bila kita berada di fase awal—baru merintis usaha, baru lulus kuliah, baru dipindahkan ke divisi lain, atau baru menjabat posisi manajerial. Namun, seiring waktu, kita tidak bisa terus-menerus berada di posisi “baru”. Ada tuntutan untuk fokus, produktif, berintegritas, sekaligus mencapai target bersama.
Bayangkan sebuah situasi: manajer meminta kamu menyelesaikan laporan marketing klien A pukul 4 sore. Kamu mengiyakan, padahal sudah punya janji membuat laporan klien B serta meeting bersama tim sales dari jam 1 sampai 3 siang. Akhirnya, hanya separuh laporan klien A yang selesai, laporan klien B juga setengah jadi, dan meeting pun tidak maksimal karena disambi dengan pekerjaan lain. Akibatnya, rapat harus dijadwalkan ulang, dan manajer pun kecewa karena merasa kamu tidak jujur sejak awal.
Inilah risiko dari kegagalan berkata “tidak”. Reinald pun mengalami hal serupa: ia kewalahan karena pekerjaan menumpuk, sementara sumber daya yang tersedia terbatas.
Masalah ini kerap dialami mereka yang berada di posisi bawahan. Ada tekanan untuk selalu menerima instruksi atasan karena takut penilaian kinerja buruk, kesempatan promosi terlewat, atau bonus tahunan berkurang. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian.
Saat kamu bisa menyampaikan alasan dengan jujur dan profesional, justru itu bisa dipandang positif. Dengan kata lain, kamu memperlihatkan kepada atasanmu bahwa kamu bisa membuat dan menjaga prioritas.
Baca Juga: Seni dari Prioritas Dan Mengapa itu Penting?
Berani berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak mendukung prioritas adalah keterampilan penting, meski jarang diajarkan di sekolah atau kampus. Dengan kemampuan ini, kamu bisa terhindar dari stres berlebihan dan burnout yang tidak perlu.
Lalu, bagaimana cara menolak pekerjaan tanpa menimbulkan kesan negatif, sekaligus melindungi prioritas agar tetap produktif? Berdasarkan pengalaman pribadi, membaca berbagai referensi, serta melalui trial and error, ada tiga pendekatan yang terbukti efektif:
1. Jujur dan Rendah Hati
Sampaikan kondisi yang sebenarnya dengan cara yang sopan. Orang lebih mudah memahami bila kamu bicara apa adanya, dibanding berpura-pura sibuk.
Contoh:
- “Maaf Pak/Bu, dengan prioritas tanggung jawab yang saya punya sekarang, saya belum yakin bisa ambil pekerjaan dari Bapak/Ibu.”
- “Maaf saya belum bisa ambil kesempatan ini. Tapi, saya bisa hubungkan Bapak/Ibu ke orang di tim lain yang saya percaya juga kompeten mengerjakan topik ini.”
2. Sampaikan Beban Kerja yang Kamu Punya
Sampaikan pekerjaan yang sedang kamu kerjakan agar orang lain paham bahwa yang kamu lakukan itu juga membutuhkan waktu dan tenaga, sementara waktu dan tenaga itu terbatas untuk semua orang.
Highlight juga prioritas yang kamu punya, yang sudah disepakati dengan manajer. Jadi jika ada orang dari tim lain datang meminta sesuatu dan kamu ingin menolaknya, ia dapat memahami bahwa yang kamu sampaikan bukanlah sebuah penolakan pribadi, melainkan alasan yang valid.
Contoh:
- “Saya sedang diamanahkan banyak tugas dengan deadline yang mepet. Terima kasih, ya, udah approach saya buat proek ini. Mungkin lain kali saya bisa membantu jika waktunya lebih tepat”
- “Manajer saya meminta pekerjaan yang sedang saya lakukan ini sebagai prioritas. Mohon maaf, saya belum bisa menerima request dari tim Bapak/Ibu minggu ini.”
3. Minta Pendapat & Masukan
Terakhir, jika permintaan datang langsung dari atasan atau pihak penting, libatkan mereka dalam menentukan pekerjaan mana yang bisa dikesampingkan dan mana yang didahulukan sebagai prioritas. Dengan begitu, kamu bisa lepas tanggung jawab dari sebagian pekerjaan dan fokus pada pekerjaan utama.
Baca Juga: Memprioritaskan Kesejahteraan Karyawan untuk Pengalaman Karyawan yang Positif
Jika ada tim lain yang bertanya tentang mengapa mereka tidak dijadikan prioritas, kamu bisa langsung menyampaikan bahwa keputusan kamu adalah hasil dari diskusi kamu dengan atasan, dan bukan karena semena-mena kamu yang memutuskan.
Contoh:
- “Saya punya pekerjaan [A], [B], dan [C] dengan deadline yang kurang lebih sama. Tapi saya tidak yakin bisa mengerjakan semuanya kalau hanya sendirian. Menurut Bapak/Ibu, lebih baik pekerjaan mana yang saya prioritaskan?”
- “Saya bisa mengerjakan dokumen katalog produk, tapi kebetulan sudah ada deadline di hari Jumat buat persiapan presentasi produk kita ke klien lain. Mana yang lebih baik saya jadikan prioritas?”
Itulah tiga strategi praktis yang bisa kamu gunakan untuk menolak pekerjaan dengan bijak. Dengan komunikasi yang jelas dan alasan yang masuk akal, kamu bisa menjaga prioritas, tetap produktif, sekaligus menghindari kesalahpahaman saat menolak pekerjaan yang datang.
Komunikasi
Rivaldy merupakan lulusan Teknik Dirgantara dari Institut Teknologi Bandung dan University of Glasgow. Ia memulai kariernya sebagai Chief of Technical and Engineering di Aerogeosurvey pada tahun 2015. Sejak tahun 2022, ia melanjutkan kariernya sebagai Aerospace Engineer di Airbus, Inggris.