Ternyata Ibu Benar: Ponsel Memang Menguras Tenaga Kita

Ron Lach, Pexels
Jeda yang Menguatkan Diri
Coba berhenti sejenak dan renungkan, kapan terakhir kali kamu benar-benar memberi otakmu waktu untuk beristirahat?
Waktu di mana kamu tidak melakukan apa pun, bahkan mungkin benar-benar diam.
Bayangkan dirimu duduk di teras, menikmati secangkir kopi di pagi Minggu yang tenang. Udara masih segar, belum tercemar, dan kamu sempat berpikir untuk berjalan santai. Tidak ada notifikasi, tidak ada layar ponsel yang menyala. Hanya kamu, benar-benar hadir dan tenang dalam pikiranmu sendiri.
Kalau kita pikir-pikir, justru di momen sederhana seperti inilah percikan semangat sering muncul kembali. Saat menantikan makan malam di restoran favorit, duduk di bangku taman sambil melihat orang lalu-lalang, atau berkhayal sambil menatap matahari terbenam. Itu bukan produktivitas dalam arti umum, tapi di situlah kreativitas kita sering tumbuh.
Masalahnya, kita kini memenuhi setiap jeda yang ada. Kita mengira doomscrolling adalah bentuk “istirahat”. Bukan hanya sebelum tidur, tapi juga saat menunggu teman datang. Kita makan sambil menonton TV, bahkan membawa ponsel ke kamar mandi. Otak kita nyaris tak punya waktu untuk benar-benar berhenti dari perpindahan tugas yang tiada henti.
Pikiran kita terus sibuk, sementara pekerjaan dan tekanan lain menambah beban.
Lama-kelamaan, efeknya mulai terasa: fokus berkurang, energi mental menurun, kecemasan meningkat.
Ketika kita menyadari betapa keras otak bekerja di balik layar, bahkan momen paling sederhana pun mulai terasa seperti napas segar yang sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Demensia Digital: Ketika Gadget Merusak Otak Anak Muda
Bagaimana Ritme Hidup Modern Menyebabkan Burnout
Dulu, melakukan “tidak ada apa-apa” terasa wajar. Dalam jeda itulah pikiran bisa bernapas.
Sekarang, keheningan seperti itu hampir punah. Kita tidak pernah benar-benar larut dalam apa yang sedang dikerjakan, tapi juga tidak pernah sepenuhnya berhenti. Begitu muncul sedikit waktu luang, kita justru mencari hal lain agar tetap sibuk.
Dalam mengejar stimulasi terus-menerus, kita lupa cara untuk hanya menjadi. Kita tak lagi memberi ruang bagi otak untuk masuk ke Default Mode Network (DMN) di mana kondisi istirahat alami ketika kita tidak fokus pada tugas tertentu. Di situlah kreativitas, refleksi, dan pemikiran mendalam muncul.
Setiap kali kita berganti dari satu tugas ke tugas lain, bahkan hanya untuk mengecek notifikasi, kita menghabiskan energi mental. Proses ini disebut context switching, dan terus-menerus melakukannya membuat otak kita lelah.
Kita tidak dirancang untuk kecepatan hidup seperti ini. Namun di dunia yang menganggap keheningan sebagai masalah yang harus diatasi, kita terus memaksakan diri melampaui batas.
Rebut Kembali Ruang Mentalmu
Izinkan diri untuk diam. Tidak semua waktu perlu diisi. Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk bergerak, memiliki momen tenang bukanlah waktu yang terbuang. Cobalah langkah kecil ini:
- Mulailah hari dengan lembut. Regangkan badan, buka jendela, duduk sebentar menikmati udara sebelum menatap layar.
- Nikmati waktu makan tanpa gangguan. Jangan ada layar, jangan ada musik. Hanya kamu, makanan, dan pikiranmu. Kedengarannya sepele, tapi efeknya besar.
- Ambil jeda tanpa tujuan. Saat menunggu, di perjalanan, atau menjelang tidur, tahan diri untuk tidak langsung mencari distraksi. Biarkan pikiran mengembara. Dalam ruang kosong itulah sering muncul ide terbaik.
Baca Juga: Jangan Remehkan Healing: Self-Care Bukan Manja, Tapi Survival
- Batasi kebiasaan dengan teknologi. Tak perlu berhenti total dari gawai, tapi sadari kapan kamu menyentuhnya karena kebiasaan. Apakah beberapa scroll bisa ditunda? Apakah kamu bisa menjaga satu momen tetap hening? Bahkan beberapa menit keheningan bisa berdampak besar.
Dalam keheningan, saat kamu tidak melakukan apa pun, otakmu akhirnya beristirahat dan memulihkan diri. Default Mode Network aktif, memberi ruang bagi refleksi, pemulihan, dan kejernihan pikiran.
Peluk jeda-jeda kecil itu. Tampak sederhana, tapi di situlah kekuatanmu perlahan pulih.
Kepribadian
Anggie adalah editor bahasa Inggris di Leaderonomics. Sehari-harinya ia banyak berkutat dengan pembuatan konten, ditemani setia oleh secangkir teh hijau hangat atau iced latte.





