Rasa Sakit yang Akrab yang Dibawa Pemimpin ke Tahun Baru

Lexamer, Freepik
Beban yang kamu pikul sepanjang tahun akhirnya sampai di titik akhirnya pada bulan Desember.
Ini adalah bulan penutupan, dengan agenda yang padat. Mulai dari evaluasi kinerja berturut-turut, penutupan akhir tahun, hingga bagi sebagian orang, surat pengunduran diri.
Ada kesepakatan tak tertulis yang dipahami bersama. Inilah waktunya menuntaskan segalanya dan memulai kembali di tahun yang baru.
Dan istirahat, yang benar-benar istirahat, memang pantas didapatkan.
Namun, penutupan membawa efek samping halus yang sering kita abaikan. Ia menciptakan rasa lapar akan kepastian, yang kerap kita keliru anggap sebagai kebijaksanaan.
Akhir tahun memiliki pengaruh yang aneh pada para pemimpin. Saat lelah, hal-hal yang familiar terasa lebih aman. Ada hal-hal yang dibiarkan begitu saja karena kita sudah tahu cara hidup berdampingan dengannya. Dari sinilah kita mengumpulkan Survival Debt, yaitu bunga berat yang harus kita bayar karena memilih bertahan pada sebuah masalah, alih-alih menyelesaikannya.
Baca Juga: Rahasia Membuat Hasil Pelatihan Bertahan Jangka Panjang
Ilmu pengetahuan membantu menjelaskan hal ini. Riset tentang loss aversion menunjukkan bahwa otak manusia memang terprogram untuk lebih memilih “rasa sakit yang sudah dikenal” dibandingkan “kelegaan yang belum dikenal”. Kita lebih memilih tetap berada di ruangan yang sedikit terlalu dingin daripada harus melewati lorong gelap untuk mencari termostat.
Dalam kepemimpinan, bias ini sering muncul sebagai kompromi palsu:
Rasa Sakit yang Akrab (Yang Kita Pertahankan) | Kelegaan yang Belum Dikenal (Yang Kita Takuti) |
| Mempertahankan high performer yang merusak budaya tim. | Penurunan produktivitas sementasa saat mencari peran yang lebih tepat. |
| Mengandalkan solusi manual untuk proses yang sebenarnya sudah rusak. | Proses coba-coba ketika menerapkan alur kerja baru. |
| Menghadiri rapat yang sama sekali tidak memberi nilai tambah. | Ketidaknyamanan saat menetapkan batasan yang mungkin menyinggung orang lain. |
Terutama di waktu seperti ini, pola-pola tersebut sering muncul ketika pikiran yang lelah mencari kepastian. Kita mengatakan pada diri sendiri bahwa kita sedang menutup tahun dengan kuat. Padahal, sering kali kita hanya sedang berpegangan lebih erat.
Masalahnya, apa pun yang kita toleransi di akhir tahun tidak akan ter-reset di bulan Januari. Ia akan ikut terbawa ke depan, sering kali tanpa pernah diperiksa, lalu berulang kali menjadi standar baru.
Jadi, sebelum kamu benar-benar menutup buku tahun ini, ada satu pertanyaan yang layak diajukan:
Rasa sakit apa yang terus aku bawa karena sudah terasa akrab, dan kelegaan apa yang terus aku tunda demi mempertahankan rasa pasti sedikit lebih lama?
Kepemimpinan
Anggie adalah editor bahasa Inggris di Leaderonomics. Sehari-harinya ia banyak berkutat dengan pembuatan konten, ditemani setia oleh secangkir teh hijau hangat atau iced latte.





