12.12 Karier: Ketika Banyak Karyawan Memilih “Batalkan Pesanan”

rawpixel.com, Freepik
Setiap 12.12, orang sibuk checkout. Keranjang penuh, jari siap klik bayar. Bedanya, tahun ini yang di-checkout bukan barang, tapi pekerjaan.
Akhir-akhir ini, Timeline dipenuhi cerita resign massal, hari terakhir kerja, dengan caption yang intinya sama: “akhirnya pesanan dibatalkan” alias “akhirnya keluar juga.”
Kasusnya juga terasa familiar. Sebuah perusahaan besar tiba-tiba viral karena banyak karyawannya resign hampir bersamaan. Alasannya mirip di mana-mana: beban kerja tinggi, jam kerja kabur, target jalan terus, tapi komunikasi dan empati jalan di tempat.
Baca Juga: Apakah Mereka yang Resign Kerja Adalah Pecundang?
Tanpa sebut nama pun, banyak orang langsung paham. Karena rasanya pernah ada di situ, atau setidaknya pernah dengar.
Yang menarik, reaksi yang muncul hampir selalu sama. Karyawan dibilang lemah, tidak tahan tekanan, atau terlalu kebawa tren resign. Padahal, kalau satu-dua orang keluar, mungkin itu soal personal. Tapi kalau satu tim memasukkan surat resign ke keranjang yang sama, ini jelas bukan kebetulan.

tirachardz, Freepik
Anak muda hari ini bukan anti-kerja keras. Mereka cuma anti sistem yang bikin hidup rasanya kayak promo palsu. Di job description kelihatannya menarik, tapi pas sudah checkout, ternyata isinya beda. Ekspektasi nambah, jam kerja melebar, tapi kompensasi dan arah kerja tetap abu-abu.
Masalahnya, banyak pemimpin baru sadar ada yang salah setelah pesanan dibatalkan.
Feedback diminta saat orang sudah tidak lagi peduli.
Exit interview jadi formalitas, bukan refleksi. Seolah-olah masalah baru muncul ketika orang pergi, padahal keranjangnya sudah lama penuh.
Tanda-tandanya sebenarnya kelihatan. Karyawan mulai pasif, ide jarang keluar, kerja sekadar menyelesaikan tugas.
Ini bukan tanda malas.
Ini tanda orang yang sudah checkout secara mental, tapi masih menunggu waktu untuk benar-benar log out.
Ironisnya, masih ada pemimpin yang bangga dengan narasi “yang kuat akan bertahan”. Padahal tempat kerja bukan flash sale ketahanan mental. Kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling kuat menahan capek, tapi siapa yang mampu membuat sistem kerja tetap manusiawi.
Baca Juga: Lembur: Seni Bertahan di Bawah Lampu Kantor
Resign massal seharusnya jadi notifikasi keras, bukan gangguan yang di-skip. Bukan cuma soal siapa yang keluar, tapi kenapa banyak orang memutuskan pesanan yang sama, di waktu yang hampir bersamaan.
Tentu, tidak semua resign adalah kesalahan perusahaan. Ada yang keluar karena memang sudah waktunya pindah. Tapi ketika kasus viral terus berulang dengan pola yang sama, pemimpin perlu berhenti menyalahkan generasi dan mulai mengecek sistem.
Karier memang keputusan personal. Tapi checkout 12.12 versi resign massal adalah masalah kepemimpinan. Karena ketika terlalu banyak orang membatalkan pesanan, mungkin bukan mereka yang salah memilih.
Mungkin produknya yang memang perlu diperbaiki.
Kepemimpinan
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Kepemimpinan Tanpa Batas, Pertumbuhan, Konsultasi
Manisha adalah editor dan penulis di Leaderonomics. Ia percaya tulisan memiliki kekuatan untuk belajar dan membawa perubahan dengan menginspirasi banyak orang.





