Hindari Kesalahan yang Sering Terjadi sebagai Pemimpin Muda

Tima Miroshnichenko, Pexels
Di era digital yang bergerak cepat, banyak anak muda kini memasuki posisi kepemimpinan lebih awal dibanding generasi sebelumnya. Mereka menjadi manajer di usia 25 tahun, memimpin startup, komunitas sosial, hingga tim lintas negara, hanya berbekal ide dan semangat. Namun di tengah euforia tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah generasi muda benar-benar siap memimpin, atau sekadar terjebak dalam ilusi bahwa “leadership is cool”?
Menjadi pemimpin muda saat ini bukan hanya soal kemampuan berbicara di depan publik atau memahami tren manajemen terbaru. Dunia kerja modern menghadapi krisis kepercayaan, tekanan kolektif, serta ekspektasi sosial yang tinggi. Banyak pemimpin muda melakukan kesalahan klasik yang tampak sepele, tetapi berdampak signifikan terhadap kepercayaan tim dan efektivitas organisasi.
Berikut beberapa kesalahan umum yang sering terjadi, beserta cara untuk memperbaikinya agar pemimpin muda dapat tumbuh menjadi sosok yang relevan, berdaya, dan berempati.
Baca Juga: Pemimpin Seperti Apa yang Mendapatkan Kepercayaan Gen Z?
1. Terlalu Ingin Diakui, Namun Lupa Mendengarkan
Media sosial membentuk budaya validasi yang kuat. Banyak pemimpin muda tanpa sadar membawa mentalitas “butuh pengakuan” ke dunia kerja. Mereka ingin terlihat kompeten, inovatif, bahkan “visioner”, tetapi sering melupakan bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari kemampuan mendengarkan.
Menurut laporan Deloitte Global Human Capital Trends, lebih dari separuh pekerja khawatir bahwa meningkatnya tekanan kerja akan berdampak pada kesehatan mental mereka. Selain itu, riset State of Global Workplace menunjukkan bahwa sekitar 20% pekerja di Indonesia mengalami banyak kemarahan dalam sehari, dan 27% merasa sedih. Data ini menegaskan bahwa kecepatan bukan segalanya dan komunikasi dua arah menjadi kunci dalam lingkungan kerja modern.
Solusinya: ubah fokus dari keinginan untuk didengar menjadi keinginan untuk memahami. Jadikan rapat tim sebagai ruang refleksi, bukan sekadar forum laporan hasil kerja. Tanyakan pendapat anggota tim, dengarkan tantangan mereka, dan tindak lanjuti dengan langkah nyata. Pemimpin yang mampu mendengarkan akan jauh lebih dihormati dibanding mereka yang hanya memberi perintah.
2. Menghindari Konflik Demi Kenyamanan Tim
Banyak pemimpin muda tumbuh dalam budaya kerja yang menekankan harmony over honesty. Mereka khawatir dianggap “bos yang keras” sehingga cenderung menghindari konfrontasi. Padahal, sikap terlalu menjaga kenyamanan justru menimbulkan ketidakpastian. Masalah kecil yang diabaikan bisa berlarut hingga merusak dinamika tim.
Di Indonesia, pekerja hybrid dan remote semakin umum, sehingga konflik kerap muncul akibat miskomunikasi digital. Pesan teks mudah disalahartikan dan kritik sering dianggap personal.
Solusinya: bangun budaya radical candor, yaitu jujur namun tetap peduli. Pemimpin muda perlu belajar memberikan umpan balik dengan empati, berdasarkan data dan fakta, bukan emosi. Gunakan pendekatan feedback sandwich: apresiasi, koreksi, lalu saran membangun. Keberanian menghadapi konflik dengan elegan menunjukkan kedewasaan emosional yang semakin jarang ditemukan di dunia kerja modern.
3. Terjebak dalam “Hustle Culture”

cottonbro studio, Pexels
Banyak pemimpin muda masih menganggap produktivitas sebagai identitas diri. Mereka memimpin dengan memberi contoh: lembur setiap malam, aktif di berbagai platform, dan menuntut kecepatan ekstrem. Padahal, paradigma kerja kini bergeser. Isu burnout, keseimbangan hidup, dan kesehatan mental menjadi fokus utama di banyak organisasi besar.
Data dari State of Global Workplace menunjukkan bahwa pekerja Indonesia mengalami tekanan emosional yang cukup signifikan sehari-hari, menandakan pentingnya perhatian terhadap kesejahteraan tim.
Solusinya: redefinisikan produktivitas sebagai keberlanjutan. Alih-alih menekankan jam kerja panjang, fokuslah pada hasil dan kesejahteraan tim. Pemimpin yang mampu menciptakan lingkungan kerja sehat akan lebih dihormati dan lebih produktif dalam jangka panjang.
4. Kurang Mampu Beradaptasi dengan Krisis dan Perubahan
Kepemimpinan masa kini tidak dapat dilepaskan dari ketidakpastian. Dari perubahan regulasi hingga krisis sosial-politik, seorang pemimpin muda harus siap berpikir cepat namun tetap tenang. Sayangnya, banyak yang panik, mengubah arah secara drastis, atau meniru strategi dari luar negeri tanpa memahami konteks lokal.
Krisis kepercayaan publik terhadap institusi di Indonesia menjadi pengingat bahwa kepemimpinan adaptif memerlukan transparansi. Tim tidak menuntut pemimpin sempurna, tetapi mereka menghargai sosok yang jujur dan konsisten di tengah tekanan.
Solusinya: latih agility melalui kebiasaan reflektif. Setiap krisis bisa menjadi learning moment. Pemimpin muda sebaiknya membuka ruang diskusi untuk mengevaluasi apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Dengan begitu, mereka tidak hanya bereaksi terhadap situasi, tetapi juga mampu berevolusi bersamanya.
Baca Juga: Tiga Kilometer Pertama: Saat Langkah Berat Menjadi Awal Perubahan
Penutup
Kesalahan bukan tanda kegagalan, tetapi bagian dari proses menjadi pemimpin yang matang. Pemimpin muda perlu menyeimbangkan ambisi dengan empati, kecepatan dengan kebijaksanaan, serta visi dengan realitas. Dunia saat ini tidak membutuhkan pemimpin sempurna, melainkan mereka yang bersedia tumbuh bersama tim dan terus belajar memperbaiki diri.
Kepemimpinan
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Kepemimpinan Tanpa Batas, Pertumbuhan



