83% Milenial Mau Brand Etis: Diam Berisiko, Keberanian Moral adalah Kunci Kesuksesan Bisnis

Pexels
Di tengah gejolak pasar yang tak menentu, intuisi bisnis konvensional selalu menasihati: ”hindari kontroversi”. Namun, data yang menunjukkan 83% milenial menuntut brand untuk menjadi lebih etis menandakan bahwa resep lama itu telah kedaluwarsa. Strategi paling rasional di era modern bukanlah bersembunyi di balik benteng netralitas, melainkan keberanian untuk mengambil sikap pada isu paling kompleks sekalipun. Risiko terbesar bagi brand saat ini bukanlah boikot jangka pendek, melainkan erosi kepercayaan dan kematian perlahan di tengah irrelevansi.
Mendefinisikan Ulang Risiko: Dari Keheningan Menuju Kehancuran
Kalkulasi risiko tradisional sering salah membaca lanskap. Mereka mengukur potensi kerugian dari konsumen yang tersinggung jika brand mengambil sikap, tapi gagal mengukur biaya dari keheningan itu sendiri, biaya yang tak terlihat namun jauh lebih fatal. Bagi generasi Milenial, dan terutama Gen Z yang akan segera mendominasi, diam tidak lagi ditafsirkan sebagai netralitas yang bijaksana. Diam adalah bentuk komplikasi. Ketika sebuah brand yang setiap hari berbicara tentang “kemanusiaan”, “keberlanjutan”, atau “pemberdayaan” tiba-tiba membisu saat terjadi krisis kemanusiaan di Palestina atau perusakan lingkungan masif untuk tambang nikel di Raja Ampat, mereka tidak terlihat bijaksana—mereka terlihat munafik. Inilah yang memicu Defisit Kepercayaan: jurang antara nilai yang diiklankan dan nilai yang dipertahankan saat diuji. Risiko berbicara adalah kehilangan sebagian pelanggan. Risiko diam adalah kehilangan jiwa brand dan loyalitas konsumen paling dominan saat ini dan di masa depan.
Legasi Dibangun dari Keberanian, Bukan Kehati-hatian
Pertanyaannya bukan lagi “haruskah?” melainkan “bagaimana?”. Jawaban bisa kita temukan dari para pemimpin global yang visioner, pelopor lokal yang inovatif, dan kerangka kerja strategis yang teruji. Sejarah bisnis dipenuhi oleh mereka yang berani, bukan mereka yang aman. Simon Sinek, melalui konsep “Start With Why”, menegaskan bahwa konsumen modern tidak lagi membeli apa yang Anda jual, tetapi mengapa Anda menjualnya. Sikap etis dan kontribusi sosial adalah manifestasi terkuat dari “mengapa” sebuah perusahaan ada.
Larry Fink, CEO BlackRock, menegaskan bahwa purpose dan keberlanjutan (ESG) bukanlah filantropi, melainkan pilar utama profitabilitas jangka panjang. Perusahaan yang abai terhadap dampaknya pada masyarakat dan lingkungan akan kehilangan “izin untuk beroperasi” dari investor, talenta, dan konsumen.
Paul Polman membuktikan melalui Unilever bahwa perusahaan raksasa bisa tumbuh sambil menjalankan “Sustainable Living Plan”. Yvon Chouinard dari Patagonia bahkan menyerahkan seluruh kepemilikan bisnisnya demi melindungi planet bumi. Tujuan dan laba bukan musuh, melainkan dua sisi mata uang yang sama.
Cermin Lokal: Pelajaran dari Pelopor di Indonesia
Kekuatan brand mereka tidak dibangun dari kualitas jaketnya semata, melainkan dari keberanian mereka yang konsisten menentang konsumerisme dan perusakan lingkungan. Keberanian mereka adalah strategi pemasarannya. Prinsip-prinsip global ini nyatanya relevan dan telah diterjemahkan dengan cemerlang oleh para pelopor di Indonesia, membuktikan relevansinya di pasar lokal.
- Sejauh Mata Memandang → Sustainable fashion, memberdayakan perajin lokal, menggunakan bahan ramah lingkungan, dan menyuarakan isu lingkungan lewat program “Daur”.
- Burgreens → Memelopori gerakan plant-based di Indonesia, mendukung petani lokal organik, dan mengedukasi masyarakat soal gaya hidup ramah bumi.
- Duanyam → Memberdayakan ibu penganyam di pelosok NTT, menghubungkan mereka dengan pasar global, memerangi kemiskinan, dan gizi buruk.
Ketiganya autentik, transparan, dan mengundang konsumen menjadi bagian dari cerita yang lebih besar dari sekadar produk.
Menavigasi Arena Kompleks: Argumen untuk Bersuara
Alasan yang sering dipakai untuk diam adalah “isu terlalu kompleks” seperti Palestina, Ukraina, atau tambang. Namun:
- Kompleksitas Bukan Alasan untuk Apatis. Konsumen tidak menuntut tesis doktoral. Mereka hanya ingin pengakuan penderitaan manusia. Donasi yang terverifikasi untuk bantuan kemanusiaan netral (misalnya melalui PBB atau Palang Merah/Bulan Sabit Merah), disertai pernyataan sederhana untuk perdamaian dan menentang kekerasan terhadap warga sipil, sudah cukup.
- Di Dunia yang Terhubung, Tidak Ada yang ‘Bukan Urusan Kita’. Rantai pasok global berarti bahan baku, produk, atau proses bisa terhubung dengan isu sosial dan lingkungan. Mengklaim “itu bukan urusan kami” adalah kemewahan yang sudah tidak ada. Brand yang bersuara lebih dulu menunjukkan transparansi dan membangun kepercayaan.

Sumber: Ibnu Haykal / LinkedIn
Rekomendasi Strategis: Peta Jalan untuk Mengambil Sikap
Memahami pentingnya mengambil sikap adalah satu hal, tetapi mengeksekusinya dengan benar adalah tantangan yang sama sekali berbeda. Agar tidak terjebak dalam aktivisme performatif yang dangkal atau terdengar oportunistis, sebuah brand memerlukan fondasi yang kuat dan peta jalan yang jelas. Proses ini menuntut lebih dari sekadar niat baik; ia memerlukan kerangka kerja yang terukur untuk memastikan setiap sikap yang diambil lahir dari DNA perusahaan, relevan dengan audiens, dan diwujudkan melalui tindakan nyata yang konsisten dan berdampak. Lalu, bagaimana sebuah brand dapat mulai menentukan sikapnya secara strategis dan autentik?
Langkah-langkahnya:
- Gali “Why” Anda. Apa alasan fundamental keberadaan perusahaan? Nilai apa yang tidak bisa ditawar?
- Identifikasi Titik Irisan yang Relevan. Temukan pertemuan antara nilai brand, nilai audiens target, dan isu nyata yang bisa Anda dampingi dengan kredibel.
- Wujudkan dalam Tindakan Nyata. Misalnya: perbaikan rantai pasok, program pemberdayaan komunitas, atau menyisihkan profit untuk tujuan sosial/lingkungan.
- Komunikasikan dengan Jujur dan Konsisten. Ceritakan perjalanan dan kemajuan, bukan hanya kampanye sesaat.
Kerangka Strategis untuk Keberanian yang Terukur
Setelah memahami bahwa keberanian untuk bersuara adalah sebuah keharusan, pertanyaan paling krusial bergeser dari "mengapa" menjadi "bagaimana". Bagaimana sebuah brand dapat mengambil sikap tanpa terlihat ceroboh, oportunistis, atau justru kontraproduktif? Jawabannya terletak bukan pada volume suara, melainkan pada kualitas fondasi di baliknya. Kerangka kerja berikut adalah panduan praktis untuk membangun fondasi tersebut, memastikan setiap langkah diambil dengan strategis, autentik, dan berdampak.
Prinsip-prinsipnya:
- Definisikan Kompas Moral Anda. Nilai absolut yang tidak bisa ditawar meskipun mengorbankan keuntungan.
- Pahami Audiens Inti, Abaikan yang Lain. Fokus pada konsumen paling loyal yang sejalan nilai Anda.
- Pilih Medan Perang yang Relevan. Sesuaikan dengan industri dan Why Anda.
- Bertindak Dulu, Bicara Kemudian. Pastikan langkah nyata dilakukan sebelum kampanye atau pernyataan publik.
Baca Juga: 3 Cara Pemimpin Membangun Budaya Keberagaman & Inklusi
Kesimpulan: Keberanian adalah Strategi Bisnis Terbaik
Di era di mana konsumen semakin sadar dan kritis, diam bukan lagi pilihan aman. Keberanian untuk mengambil sikap dengan strategi yang terukur, aksi nyata, dan komunikasi yang jujur bukan hanya keputusan moral, tetapi strategi bisnis yang akan menjaga relevansi dan membangun legasi.
Bisnis
Tags: Konsultasi, Sifat Positif
Ibnu Haykal memimpin Magpie Public Relations, memenangkan berbagai penghargaan di Indonesia PR of the Year 2023, aktif sebagai relawan NCD Alliance Indonesia, dan menjadi keynote speaker di konferensi kesehatan global di Belanda serta berkontribusi di Geneva untuk agenda advokasi NCD