Jadi Ibu Rumah Tangga atau Wanita Karier?

Apr 01, 2022 6 Min Read
Ibu yang sedang mengasuh anaknya sambil bekerja
Sumber:

Sarah Chai dari Pexels.com

Tidak semuanya bisa menjadi seorang ibu dan wanita karier, dan itu tidak apa-apa

Beeeep beep beep. . .’ alarm saya berbunyi. Jam menunjukkan pukul 5 pagi, hari Senin. Setelah menekan tombol snooze berkali-kali, saya memaksakan diri untuk bangun dan dalam keadaan linglung melakukan ritual pagi saya. Saya memeriksa barang bawaan, mengunci tas, dan mengenakan pakaian semi formal yang nyaman dipakai di bandara. Saya mendengar mobil berhenti di depan, mencium suami saya yang masih tidur, lalu pergi ke bandara untuk mengejar penerbangan pukul 06:30 pagi. 

Kurang lebih begitulah tipikal hari Senin pagi saya sebagai seorang konsultan manajemen. Dengan segala suka dan duka yang saya alami, tidak ada hari yang sama dalam keseharian saya.

Pekerjaan saya tidak sempurna, seperti pekerjaan lain pada umumnya. Saya berani mengatakan bahwa menjadi seorang konsultan itu menghabiskan waktu dan banyak tuntutannya. Mengerjakan proyek dengan klien asing berarti saya harus jauh dari rumah selama lima hari dalam seminggu. Terlebih, waktu seakan berjalan lebih lambat ketika ada deadline yang harus saya kejar. Penugasan untuk proyek pun sering kali diberitahu mendadak. Saya dikabarkan harus dinas selama tiga bulan hanya seminggu sebelumnya.

Nah, coba bayangkan memiliki pekerjaan seperti itu dan menjadi seorang ibu dalam waktu yang bersamaan.

Baca juga: Ibu Sebagai Pemimpin

Kisah saya

Alt

Sumber: Pexels

“Semisal kalian bingung kenapa akhir-akhir ini saya seperti tidak biasanya… saya sebenarnya sedang hamil!”

Begitulah cara saya mengumumkan kehamilan saya kepada rekan-rekan kerja di acara natal tahunan kami. Saya merahasiakan kehamilan saya selama lima bulan, karena takut ditanya macam-macam. 

Begitu mengetahui bahwa saya sedang hamil, banyak sekali yang terbenak dalam pikiran saya. Kekhawatiran saya antara lain:
Apakah saya akan diperlakukan berbeda setelah para atasan tahu saya sedang hamil?
Akankah mereka menanyakan tentang motivasi saya bekerja?
Apakah saya akan diberi lebih sedikit kesempatan untuk mengerjakan proyek yang menarik?
Apakah saya akan dilewatkan untuk kesempatan kerja dan promosi?
Bagaimana reaksi rekan kerja saya terhadap berita ini?
Bagaimana saya akan menyeimbangkan pekerjaan dan menjadi seorang ibu setelah saya selesai cuti hamil?

Sebagai konsultan manajemen di sebuah perusahaan kecil, jumlah pemimpin wanita di tempat kerja kami sangat sedikit. Hanya 20% pemimpin senior kami adalah wanita, tidak satu pun di antara mereka adalah seorang ibu. Dari 35 karyawan, hanya dua yang merupakan working mom dan mereka bekerja paruh waktu hanya tiga hari dalam seminggu. 

Bekerja dengan para working mom ini telah membuat saya sangat sadar akan dampak menjadi seorang ibu terhadap pekerjaan. Meskipun ini tidak mewakili semua ibu yang bekerja, ada saat-saat di mana mereka harus pulang kerja lebih awal untuk menjemput anak-anak atau melewatkan rapat penting pada hari libur. Hal ini mempengaruhi kualitas kerja yang kami berikan kepada klien. Pengalaman-pengalaman ini membuat saya ragu apakah wanita benar-benar dapat melakukan semuanya–memiliki karier yang sukses dan menjadi ibu yang berkomitmen.
 

Bagaimana dengan Anda?

Salah satu rekan kerja saya pernah bercerita: “Sebelum anak kami lahir, istri saya berencana untuk kembali bekerja setelah delapan bulan cuti hamil. Pada bulan keenam, dia menelepon kantor untuk mengundurkan diri. Akhirnya, istri saya memutuskan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga selama delapan tahun.”

Mau tidak mau saya bertanya-tanya, apakah ini akan terjadi pada saya juga? Saya tahu pasti bahwa saya tetap ingin bekerja. Memang wanita merasa berkewajiban untuk tinggal di rumah bersama anak-anak mereka. Mungkin narasi inilah yang mendorong semakin banyak wanita untuk memilih menjadi ibu rumah tangga saja.
 

Saya merasa bersalah

Coba bayangkan anak Anda yang menangis ketika Anda tinggal kerja. Pikirkan bagaimana Anda menyesal karena telah melewatkan banyak momen dengan anak Anda. Anda tidak bisa menyaksikan senyuman pertama anak Anda, kata pertamanya, langkah pertamanya, dan lain sebagainya. 

Bayangkan Anda menerima telepon dari pusat penitipan anak yang menjelaskan dengan detail bagaimana kondisi anak Anda di sana. “Oh, tidak apa-apa kok. Tadi dia jatuh menabrak meja dan sempat menangis, tapi sekarang sudah berhenti.” 

Mereka meyakinkan Anda bahwa anak Anda baik-baik saja, tapi yang ingin Anda lakukan hanyalah pergi ke sana secepat mungkin dan memeluk buah hati Anda. Sebaliknya, keinginan Anda terhalang presentasi klien yang perlu Anda perhatikan.

Suatu malam ketika Anda sedang menidurkannya, Anda merasa sangat bersalah. Apakah kami benar-benar membutuhkan penghasilan tambahan? Bukannya lebih baik bila saya tinggal di rumah dan memastikan hal ini tidak pernah terjadi lagi?
 

Begitulah wanita

Peran laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk budaya tradisional, ekspektasi orang sekitar, bahkan fisik wanita. Laki-laki sebagai pemburu dan peramu bertanggung jawab untuk mencari makanan, sementara perempuan merawat anak-anak dengan menyusui dan mengasuh. Jika perannya ditukar, Google pun akan menunjukkan banyak sekali artikel, penelitian, buku, dan film (misal: The Intern) yang didedikasikan untuk topik ini.

Jika tertarik, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk meneliti hal tersebut. Berpindah dari satu ujung spektrum ke ujung lainnya. Namun, pada dasarnya topik ini cenderung sensitif. Bahkan, hubungan Anda bisa rusak karenanya. Anda mungkin bisa bercerai. Bukankah itu lebih buruk?
 

Kunci untuk mengimbangkan karier dan peran sebagai ibu

Alt

Sumber: Ketut Subiyanto dari Pexels.com

Akan selalu ada buku, kelas prenatal, orangtua yang berpengalaman, atau bahkan orang asing di jalan yang tidak sabar untuk memberikan nasihat tentang cara yang benar untuk melahirkan, membesarkan, dan mendisiplinkan anak Anda. Pada bulan ke-7, saya telah menerima begitu banyaknya nasihat dan tetap bingung apa yang harus saya lakukan. Melahirkan secara alami lebih baik karena hormon yang lepas (endorfin dan oksitosin) diterima bayi Anda dan membuatnya lebih mungkin untuk menyusui. Jangan minum obat karena itu mengurangi produksi hormon tersebut. Asi lebih baik daripada susu formula. Dan masih banyak lagi masukan lainnya.

Jangan salah paham. Saya menyambut peran saya sebagai seorang ibu dengan penuh suka cita karena pengetahuan adalah kebijaksanaan, bukan? Namun, setiap wanita menjalani proses persalinan, menyusui, dan menjadi ibu secara berbeda. Tiap anak memiliki pengalamannya masing-masing. Menerapkan cara hidup tertentu mungkin bermanfaat bagi sebagian orang, tetapi dapat menimbulkan rasa bersalah yang tidak perlu atau bahkan depresi pascakelahiran bagi orang lain jika tidak berjalan dengan baik.
 

“Baik itu waktu yang tepat untuk kembali menekuni karier, atau tidak sama sekali, kita sebagai wanita harus memutuskan apa yang benar bagi kita di setiap langkah. Kita harus memiliki kepercayaan diri untuk memilih yang terbaik bagi kita, anak kita, gaya hidup kita, dan prioritas kita.”


Kita harus ingat bahwa tidak ada jawaban benar atau salah. Kita harus mempercayai naluri keibuan kita. Kita harus berdiri teguh dan mau belajar dari kesalahan karena lebih banyak yang dipertaruhkan jika kita tidak sama sekali melakukannya. Kita bisa mengorbankan kebahagiaan, kepuasan, dan kesejahteraan bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga anak-anak dan pasangan kita.

Tonton juga:

Share artikel ini

Parenting

Tags: Wanita dan Kepemimpinan

Lim Kwan-Ann adalah seorang ibu dan konsultan bisnis yang berpengalaman. Menginspirasi orang lain untuk menjalani hidup dengan sepenuhnya adalah passion dirinya.

Mungkin Anda Juga Menyukai

Kucing Kecil Sedang Tampak Marah

Cara Mengatasi Anak Yang Sedang Marah

Artikel Oleh : Grace Tan. Cara Mengatasi Anak Yang Sedang Marah

Oct 27, 2022 3 Min Read

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest