Bersaing dengan Ribuan Kandidat, Bagaimana Agar Saya Diterima Kerja?

Feb 02, 2024 5 Min Read
loker
Sumber:

Freepik dari Freepik.com

Tentulah pertanyaan ini sangat relevan untuk puluhan juta orang yang ada di pasaran kerja tanah air. Saya terdorong menulis artikel ini dari umpan balik yang saya peroleh dalam seminggu terakhir sesudah mengumumkan adanya job opening di salah satu startup teknologi yang sedang saya bantu tangani. Tidak lama sesudah diumumkan, ada ratusan resume yang saya peroleh. Saya tidak heran bila jumlahnya akan mencapai ribuan. Salah satu teman saya malah mengatakan bila opening-nya dalam bidang sales, marketing, atau manajemen biasanya yang mengajukan lamaran bisa puluhan ribu. 

Saat ini (berbeda dengan 30 tahun lalu ketika saya lulus kuliah), saya kebetulan berada di sisi seberang meja. Dalam posisi ikut menentukan apakah seseorang akan kami terima di tim atau tidak. Lalu, bagaimana strategi tim saya untuk menyaring banjir aplikasi yang masuk? 

Nah, mungkin saya bisa berbagi informasi. Anggap saja bocoran bagi yang sedang mencari pekerjaan (tidak harus berhubungan dengan posisi yang saya umumkan). 

Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya membaca meme yang menggambarkan bagaimana seseorang itu menggambarkan dirinya dalam resume (atau biodata). Mungkin anekdotal atau setengah bercanda, tapi saya memang sebenarnya melihat korelasi dengan yang saya amati di lapangan. 

How someone describes or writes “I changed a light bulb” in the resume:

Single-handedly managed the successful upgrade and deployment of new environmental illumination with zero cost overruns and zero safety incidents

Baca juga: Kenapa Kita Tidak Pernah Mendapatkan DM dari Recruiter?

job search meme

Nah, bagaimana tim kami bisa menyaring dengan efektif di tengah timbunan informasi yang kadang tidak akurat, inflated atau kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya? Saya kutip komunikasi dari divisi Human Capital kami ke para pelamar yang masuk saringan awal:

At StanNSat, when scouting for talents, we do not solely focus on the academic credentials but particularly consider a set of soft skills essential for the company growth. These include, but are not limited to, communication, motivation to learn something new, willingness to take initiative and going extra miles for achieving goals. 

As our company is part of a global value chain, it would be common for our team members to work with people from different engineering companies and organizations worldwide. Some engineering positions might require overseas temporary placement or travel. In this regard, it is important that each member of our team can effectively communicate in English orally and in writing. Among other things, our first screening process is to make sure that you can effectively articulate messages, information, and ideas to a diversity of people, leading to shared understanding.”

Baca juga: Ayolah, LinkedIn Bukan Hanya untuk Mencari Kerja

Saya ingin menggarisbawahi yang eksplisit disebutkan mengenai attitude yang diharapkan dari pelamar: communication, motivation to learn something new, willingness to take initiative and going extra miles for achieving goals. Ini semua adalah soft skills yang kadang terlewat diperhatikan padahal justru terkadang menjadi penyaring utama yang melebihi skolastik atau akademik. Mengapa? Dari pengalaman saya membesarkan perusahaan, kemampuan teknis (yang berbasis skolastik atau akademik tadi) bisa dikejar secara alamiah dalam 9-12 bulan. Seorang engineer yang masuk dari universitas yang bukan terbaik, bila attitude-nya baik, dia akan bisa level up karena setiap hari bergaul dengan peers atau seniornya. Learning by doing dan menyerap pengalaman bisa dilakukan secara efektif. Kuncinya: attitude

Tapi, bila terbalik maka bisa menimbulkan masalah tersendiri, dan tentunya kami juga pernah mengalaminya. Belum-belum karena merasa highly qualified atau lulus dari sekolah bagus sudah menawar-nawar persyaratan. Tentu saja yang seperti ini secara alamiah kami saring dari awal. Bila masuk sistem tentunya nanti juga tidak akan kongruen dengan spirit organisasi bisnis. Terutama untuk environment perusahaan rintisan (startup) tentulah diperlukan spirit entrepreneurial. Ya wajar para founder mengharapkan mentalitas tahan banting/uji dan keteguhan juga dimiliki para anggota yang bergabung di masa-masa awal. Mereka perlu menunjukkan militansi menghadapi ketidakpastian, sikap pantang menyerah dan resourceful (selalu mencari jalan keluar) untuk setiap tantangan yang ada. 

Baca juga: 8 Cara Menunjukkan Skill Kepemimpinan Saat Wawancara Kerja

belajar

Storyset dari Freepik.com

Membantu divisi Human Capital men-screening para applicant yang salah satu syaratnya adalah kemampuan komunikasi dengan bahasa Inggris, saya jadi teringat ketika dulu baru lulus dari ITB dan ingin melanjutkan sekolah di Amerika. Sebuah cita-cita yang tidak mudah. Bahkan dari persyaratan bahasa saja untuk departemen yang saya lamar (Aeronautics and Astronautics di MIT), syarat minimum TOEFL-nya adalah 600 (dan disebutkan rata-rata yang diterima adalah 635). Saya yang lulusan SMA daerah bukanlah seseorang yang casciscus saat lulus kuliah, jadi bekal saya adalah attitude: I’d do what it takes to get admitted. Anything. Apa saja. 

Tentunya sangat mudah untuk mencari alasan: tidak ada uang untuk tes atau beli buku-buku TOEFL, waktu terbatas untuk belajar karena juga sambil bekerja, mengapa kuliah harus bahasa Inggris, tidak bahasa Indonesia (atau Jawa sekalian).

Baca juga: Hidup Itu Berjalan, Bukan Berlari

Semua alasan ini sangat mudah untuk kita ciptakan sendiri. Apa yang saya kerjakan? Saya menguras tabungan saya (yang sebenarnya juga tidak seberapa) untuk membeli semua TOEFL sets (baik yang di Gramedia atau toko buku bekas Palasari). Saya juga membayar dan berinvestasi untuk mengambil course yang ada native speakers-nya. Apakah dengan semua komitmen tadi akan terjamin bahwa saya akan diterima? Not at all

Persyaratan bahasa adalah wajib tapi sama sekali bukan jaminan akan diterima. Dengan sumber daya yang terbatas, ternyata ujian bahasa saya juga tidak selancar yang saya bayangkan. Saya mengambil TOEFL (yang biayanya dalam standar sekarang USD 200) sampai mengulang 3 kali dalam kurun waktu setahun. Saya bersyukur proses ini (bahkan dalam konteks mencari sekolah di luar negeri), cukup mendewasakan saya. Bahwa selalu ada resiko dalam setiap keputusan yang kita ambil. Yang penting adalah sikap how we manage it dan bukan mencari jalan pintas dan atau cara yang gampang.

Jadi, dalam beberapa hari terakhir ini tentulah saya mengharapkan para calon engineer dan team members yang akan kami rekrut ini juga mempunyai bekal militansi yang sama. Apalagi konteksnya bukan lagi “hanya” mencari sekolah, tapi membangun sebuah karier yang dicita-citakan. 

Apapun hasilnya, saya pribadi berharap semua bisa mengambil pengalaman dari proses seleksi yang sangat kompetitif ini. Amiiin. 

Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Dr. Agus Budiyono.

Share artikel ini

Komunitas

Tags: Sifat Positif

Alt

Agus memiliki latar belakang pendidikan program studi S1 Teknik Dirgantara di Institut Teknologi Bandung (ITB), S2 Aeronautika dan Astronautika di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan S3 Aeronautika dan Astronautika di ITB. Saat ini, beliau merupakan Chairman CAP Solutions ID, yakni sebuah perusahaan berdomisili Jakarta yang bergerak di bidang jasa konsultan.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

otak manusia

7 Cara Update Kemampuan Otak untuk Menghadapi AI

Oleh Kiran Tuljaram. Tidak hanya software, otak kita pun perlu di-update agar kerjanya optimal.

Mar 08, 2024 5 Min Read

kepemimpinan

3 Cara untuk Meningkatkan Mindful Leadership

Tahukah kamu tentang salah satu faktor terpenting dalam Science of Building Leaders? Yup, mindful leadership! Simak videonya yuk untuk belajar lebih mengenai mindful leadership!

Sep 13, 2021 2 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest