Tembok Besi: Saat Penyesalan Menjadi Pengganggu Fokus Pemimpin

Bas Masseus, Pexels
Lepas dari Bayang-Bayang Penyesalan
Saya selalu menjadi orang yang mudah terjebak dalam penyesalan.
Di hari-hari yang tenang, pikiran saya bisa memutar ulang berbagai keputusan dan kesempatan yang terlewat dengan begitu hidup, seolah menonton film di kepala sendiri. Sayangnya, hal itu seringkali terasa berat dan tidak membantu. Bertahun-tahun saya mempelajari praktik seperti mindfulness, namun suara penyesalan tetap menjadi satu hal yang sulit saya diamkan.
Sampai suatu waktu, semuanya berubah.
Saya sedang berbincang dengan seorang penasihat yang saya percaya, Daniel Burrus, seorang futuris brilian, penulis, pembicara, sekaligus pemikir strategis yang telah membantu banyak organisasi bersiap menghadapi disrupsi sebelum itu benar-benar datang. (Jika Anda belum mengenalnya, sebaiknya mulai ikuti karyanya.) Kami berbicara santai tentang kehidupan dan anak-anak ketika ia mengatakan sesuatu yang membuat saya terdiam.
Ia berkata, “Saya tidak pernah menyesali masa lalu. Saya hanya tidak ke sana lagi.”
Dari sudut pandang saya, itu terdengar hampir mustahil.
“Tidak pernah?” saya bertanya.
“Tidak pernah,” jawabnya dengan tenang.
Dan entah kenapa, saya mempercayainya sepenuhnya.
Cara ia mengatakannya begitu sederhana sekaligus revolusioner. Seorang pria berusia tujuh puluhan, dengan segudang pengalaman hidup, menyatakan dengan tenang bahwa penyesalan tidak punya tempat dalam hidupnya. Saat itu juga saya menyadari betapa banyak energi mental saya yang selama ini terbuang karena terus menarik diri kembali ke masa lalu.
Percakapan itu meninggalkan kesan mendalam. Dari situ, saya menemukan visualisasi mental yang kini membantu saya merebut kembali fokus dan energi yang tak ternilai. Saya menyebutnya Tembok Besi (The Iron Wall).

Sebuah Latihan untuk Pemimpin dengan Tuntutan Tinggi
Prinsip Tembok Besi sederhana.
Ketika saya merasa pikiran mulai melayang ke arah penyesalan, saya membayangkan sebuah lempengan besi tebal dan sangat luas turun di belakang saya, menutup seluruh akses menuju masa lalu. Saya merasakan beratnya, mendengar bunyinya saat jatuh, dan melihat tanah berdebu ketika menghantam bumi. Lalu, saya ucapkan dengan perlahan dalam hati, “Itu dulu. Ini sekarang.”
Latihan kecil ini membantu saya merebut kembali sumber daya paling berharga yang dimiliki seorang pemimpin: perhatian.
Bayangkan jika semua pemimpin mampu melakukan hal yang sama. Bayangkan sebuah tim yang bisa mengakui kesalahan, mengambil pelajaran darinya, lalu benar-benar menutup bab itu tanpa menoleh lagi. Dalam pekerjaan saya bersama berbagai tim eksekutif, saya justru sering melihat kebalikannya. Banyak pemimpin yang tanpa sadar masih terikat pada momen yang tak bisa diubah. Sebuah keputusan rekrutmen yang salah, peluang yang terlewat, atau produk yang diluncurkan terlalu cepat.
Kita sering mengira penyesalan adalah bentuk refleksi, padahal tidak selalu demikian. Penyesalan bukan hal yang netral. Ia adalah pencuri. Dan ketika dibiarkan berlama-lama, penyesalan menggerogoti tiga kemampuan utama yang dibutuhkan dalam kepemimpinan:
- Kejernihan. Masa lalu membuat pandangan ke depan menjadi kabur.
- Kepercayaan diri. Penyesalan mengikis keyakinan terhadap kemampuan kita dalam mengambil keputusan berikutnya.
- Kehadiran penuh. Anda mungkin secara fisik ada di ruang rapat, tetapi pikiran Anda masih terjebak pada kesalahan di masa lalu.
Dengan menerapkan Tembok Besi, seorang pemimpin bisa melindungi momentum organisasi untuk terus bergerak maju. Dan di sisi lain, ada kebalikan dari penyesalan yang tak kalah mengganggu: kecemasan terhadap masa depan.
Baca Juga: Bagaimana Pemimpin yang Berpengaruh Menyeimbangkan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Penyesalan dan Kecemasan: Dua Gangguan Kembar
Jika penyesalan adalah gangguan yang datang dari masa lalu, maka future-tripping adalah bentuk kecemasan terhadap masa depan yang belum terjadi. Ini adalah kebiasaan membayangkan berbagai skenario buruk yang belum tentu akan terjadi. Pikiran seperti, “Bagaimana jika kesepakatan ini gagal?”, “Bagaimana kalau hasil kuartal depan anjlok?”, atau “Apakah kita sudah terlambat mengejar tren ini?” sering menjadi sumber kecemasan yang tidak produktif.
Dan ya, kadang kita bahkan sibuk mempersiapkan diri menghadapi “resesi yang katanya segera datang” padahal tak pernah benar-benar tiba.
Kita juga tidak bisa merancang strategi yang efektif jika berpijak pada rasa cemas. Maka, ubah sedikit mantranya menjadi, “Itu nanti, ini sekarang.”
Baik penyesalan maupun kekhawatiran masa depan sama-sama menarik pemimpin keluar dari momen saat ini. Padahal, satu-satunya waktu di mana kepemimpinan benar-benar terjadi adalah sekarang.
Belajar Tanpa Terjebak dalam Putaran Penyesalan
Sebelum sepenuhnya menyingkirkan penyesalan, kita perlu mengakui bahwa penyesalan juga dapat memberikan nilai, selama tidak mengendalikan emosi kita. Di sinilah pemikiran dari Daniel Pink menjadi relevan.
Dalam bukunya The Power of Regret, Pink menjelaskan dengan indah bahwa penyesalan bisa menjadi guru yang kuat jika ditangani dengan niat yang benar. Seperti yang ia tulis, “Penyesalan mengungkapkan apa yang benar-benar kita hargai.”
Artinya, seorang pemimpin yang menyesal karena tidak berani berbicara mungkin sebenarnya sangat menghargai integritas. Seorang pendiri yang menyesal tidak mengambil risiko berarti menghargai pertumbuhan.
Namun bahaya muncul ketika proses belajar itu berubah menjadi lingkaran tanpa akhir. Momen penyesalan dapat memberi kejelasan tentang nilai-nilai kita, tetapi jika terus diputar ulang, energi untuk bertindak justru habis terkuras.
Biarkan penyesalan memberi pelajaran, ambil maknanya, lalu bangun tembok itu dan lanjutkan langkah Anda.
Fokus Pemimpin Adalah Sumber Daya yang Terbatas
Penyesalan juga memiliki harga yang mahal.
Baik penyesalan maupun kekhawatiran terhadap masa depan sama-sama menguras kapasitas mental seorang pemimpin. Keduanya memenuhi pikiran dengan kebisingan yang tidak bisa ditindaklanjuti, menumpulkan kemampuan mengambil keputusan, dan membuat banyak pemimpin berkata, “Saya tidak tahu apa yang harus diprioritaskan,” atau “Saya tidak bisa berpikir jernih.”
Perhatian adalah aset terbesar Anda. Dan aset ini harus dijaga dengan sangat disiplin.
Itulah yang dilakukan oleh Tembok Besi. Jadi, lain kali Anda merasa pikiran mulai kembali ke masa lalu, lakukan ini: berhenti sejenak, bayangkan tembok itu, ucapkan perlahan “Itu dulu. Ini sekarang,” lalu kembalilah ke saat ini.
Karena jika selama ini Anda sudah mampu membangun begitu banyak hal sambil membawa beban penyesalan, bayangkan apa yang bisa Anda capai tanpa beban itu.
Sampai jumpa di sisi lain tembok.
Kepemimpinan
Tags: Jadilah Seorang Pemimpin, Kepemimpinan Tanpa Batas, Pertumbuhan, Sifat Positif
Juliet Funt adalah Founder dan CEO dari Juliet Funt Group & penulis buku best seller ‘A Minute to Think’.